MANGROVE KABAENA



HUTAN BAKAU (MANGROVE) DALAM EKOSISTEM PESISIR
PULAU KABAENA KABUPATEN BOMBANA
Pusat Studi-Kabaena Centre


Kerusakan hutan tropis yang terjadi di berbagai negara di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan dalam dua atau tiga decade yang akan datang diperkirakan akan mengalami ancaman kepunahan yang disebabkan karena penebangan liar (illegal logging), pengalihan fungsi lahan, eksploitasi hutan yang berlebihan, dan lain-lain. Sehingga pada awal tahun 1990-an para ahli lingkungan dari seluruh dunia mengadakan pertemuan di Rio de Jenero, Brasil yang pada intinya membahas mengenai langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk melestarikan alam termasuk juga upaya mengurangi laju kerusakan atau penyelamatan hutan tropis tersebut.

Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2-3 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar dengan penebangan hutan mencapai 40 juta meter kubik pertahun yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi (Mangrove Information Center, 2006).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006).


Gambar 1. Ekosistem Mangrove

Penebangan hutan baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya.

Kebanyakan orang (khususnya para pengusaha yang memperjualbelikan hasil kayu hutan, investor yang mengembangkan usahanya dengan menebang hutan dan digantikan dengan tanaman lainnya seperti kelapa sawit atau menggantinya dengan usaha lain seperti tambak, dan oknum pejabat yang mengeluarkan ijin untuk penebangan kayu di hutan) menutup mata dan sama sekali tidak merasa bersalah terhadap bencana alam yang sudah, sedang dan akan terjadi sehubungan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Miskinnya keperdulian dan kesadaran terhadap lingkungan bagi orang-orang tersebut harus ditingkatkan secara khusus di era peningkatan isu tentang global warming karena model pendidikan lingkungan yang biasanya dilakukan sudah tidak mampu lagi untuk menyadarkan mereka yang cendrung mengkorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Dapat diyakini bahwa mereka itu memiliki kontribusi yang banyak terhadap global warming yang terjadi sekarang ini sehingga sepantasnya mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. Berani dan mampukah aparat penegak hukum untuk menindak tegas para oknum ini demi keselamatan dan keberlangsungan alam serta kepentingan dan kelangsungan hidup manusia di Indonesia dan khususnya yang ada di pulau Kabaena Kabupaten Bombana?

Kabupaten Bombana merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang terletak di kepulauan Jazirah Tenggara pulau Sulawesi dengan Ibukota Rumbia. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan UU No 29 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003, merupakan hasil pemekaran Kabupaten Buton dengan jumlah penduduk tahun 2008 sebanyak 109.883 jiwa. Apabila ditinjau dari peta Propinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis  Kabupaten Bombana terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke  selatan diantara 4°22’ 59,4” – 5028’ 26,7” Lintang Selatan (sepanjang ±  180 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara 121027’ 46,7” -  122009’ 9,4” BT (sepanjang ± 154 km). Wilayah Kabupaten Bombana disebelah Utara berbatasan dengan  Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan, di sebelah Selatan berbatasan  dengan Laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten  Muna dan Kabupaten Buton, serta sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, Kabupaten Bombana memiliki luas Daerah daratan seluas ±3.316,16 km2 atau 331.616 ha, dimana daerah perairan laut diperkirakan seluas ± 11.837,31 km2. Saat ini, Kabupaten Bombana terdiri dari 22 wilayah Kecamatan.

Struktur ekonomi Kabupaten Bombana, sesuai data BPS 2008. menunjukan bahwa sektor Pertanian masih menjadi primadona terhadap PDRB atas dasar harga berlaku yaitu sebesar 55,91 persen, diikuti sektor jasa-jasa serta perdagangan, hotel dan Restoran, masing-masing sebesar 12,28 persen dan 12,27 persen. Kemudian berturut-turut disusul sektor konstruksi/bangunan 8,24 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 4,11 persen, sektor pertambangan dan penggalian 4,10 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 1,51 persen, sektor industri pengolahan 1,30 persen dan yang peranannya terkecil adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih  yang hanya sebesar 0,28 persen.

Pulau Kabaena adalah bagian dari Kabupaten Bombana, sejak dulu terkenal sebagai penghasil Gula Aren dan Jambu Mete, produksinya ratusan ton per tahun. Luas lahan Jambu Mete mencapai 9.128 ha, potensi gula aren berasal dari lahan seluas 1.678 ha. Total luas wilayah pertanian termasuk Cengkeh, Kopi, Kakao, Kelapa dan Kemiri mencapai 17.585 hektare sebagian kecil ada yang nelayan dan budidaya rumput laut. Perairan pulau kabaena dengan garis pantai lebih dari 200 km mempunyai beberapa spot hutan mangrove cukup luas misalnya populasi hutan mangrove di pesisir pantai Sikeli, Tg Pising, Tg. Lengora, Tg.Toromelati, Pulau Bangko dan Pesisir pantai Toli-toli. Salah satu ekosistem mangrove yang terdapat di daerah Teluk Pising didominasi oleh rhizophora apiculata, rhizophora mucronata dan relatif masih baik dengan luas 152,128 ha(1). Hutan mangrove umumnya terdapat di pantai Kabaena dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang air (pasang surut) yang merembes pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai. Hutan mangrove secara umum mempunyai peranan dalam ekosistem yang berfungsi sebagai pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak berbagai jenis biota laut, sebagai tempat burung bersarang, tempat anggrek, pakis, benalu dan berbagai kehidupan lainnya.
  
Gambar 2. Sebaran Hutan Mangrove Teluk Pising
Sumber : Puslit-Oseanografi LIPI

Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.Namun di Kabaena, apa yang terjadi saat ini khususnya di wilayah pesisir pantai Sikeli dan Toli-Toli dimana hutan mangrove atau hutan bakau ini semakin terancam keberadaannya,akibat pemanfaatan mangrove sebagai penghasil kayu bakar, untuk bangunan, arang dan pemanfaatan lahan khususnya pembukaan lahan-lahan tambak oleh masyarakat serta meningkatnya pembangunan di kawasan pesisir menyebabkan luas kawasan hutan mangrove semakin menyempit atau berkurang.

Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan bakau bagi kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknyalah apabila pemerintah daerah di Kabupaten Bombana sangat memperhatikan keselamatan hutan-hutan Bakau yang ada diwilayah pulau Kabaena. Bila ekosistem Hutan Mangrove (hutan Bakau) yang ada di pulau Kabaena hancur atau bahkan musnah, sangat besar nilai kerugian yang akan didapat tanpa memperhatikan dampak negatif jangka panjang bagi pulau ini dibandingkan dengan manfaat dari kegiatan perekonomian yang hanya akan berdampak sesaat saja.

Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir di Kabaena. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal mangrove seluas ±44,00 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ekoturisme).
     
Gambar 3. Kondisi Hutan Mangrove di Pesisir Pulau Kabaena & Mangrove yang telah ditebang

Beberapa jenis mangrove yang terkenal:
-        Bakau (Rhizopora spp.)
-        Api-api (Avicennia spp.)
-        Pedada (Sonneratia spp.)
-        Tanjang (Bruguiera spp.)

Dalam merehabilitasi mangrove yang diperlukan adalah master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan & Perikanan di harapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan).


 1.       Nilai Ekonomis Hutan Mangrove
Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove (bakau) ternyata dapat mencapai triliunan rupiah, Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan Mangrove se-Sumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata di Pulau Madura, diperoleh Total Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun. Dikhawatirkan apabila di waktu mendatang dilakukan ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove atau terjadi pengrusakan dan penyerobotan lahan hutan mangrove, maka kemungkinan besar akan sangat sulit untuk mendapatkan hutan mangrove lagi di Pulau Kabaena, bahkan didaerah manapun di Indonesia ini.

A.        Mangrove dan Tsunami
Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang ternyata merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami dan dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai yang relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tsunami tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002). Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.

Gambar 4. Perlindungan Kawasan Pesisir Akibat Tsunami dengan Mangrove & Hutan Pantai (Buffer Zone)


B.        Mangrove dan Sedimentasi
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai yang tidak bermangrove dapat mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m. Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, hasil penelitian menginformasikan bahwa laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m/th atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m /th atau 4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.

C.        Mangrove dan Siklus Hara
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Sumatera Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar 1.267 g/m/th, B. sexangula 1.269 g/m/th, dan 1.096 g/m/th untuk komunitas, B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m/minggu daun dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m/th dan 2,30 g/0,25m/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4 g/m/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai.

Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai, Sulawesi Selatan menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar usia tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun (11,68 ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60 hr (tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9 th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th). Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara 5-17 ton daun kering/ha/th (Bunt, 1978; Sasekumar dan Loi, 1983; Boonruang, 1984; dan Leach dan Burkin, 1985). Sukardjo (1995) menambahkan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove.

D.        Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi. Ketentuan jalur hijau green belt dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal, hasil penelitian dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan :

Y = 0,06 + 0,15 X
Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/th,  sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.

Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan ekonomi menunjukkan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Pengurangan hutan mangrove terutama di areal green belt sudah barang tentu akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.

E.         Mangrove dan Intrusi Air Laut
Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km dengan kondisi mangrove yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah yang terjadi kerusakan sudah terintrusi pada jarak 1 km.

F.         Mangrove dan Kesehatan
Dalam pengamatan di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

G.        Mangrove dan Keanekaragaman Hayati
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migrant. Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya. Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis.

Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrew-si), kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam (Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia (Limnodromus semipalmatus), gegajahan besar (Numenius arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove.

2. Peranan Sosial Ekonomis Mangrove

Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain:
A.        Arang dan Kayu Bakar
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- s/d Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000. Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gym-norrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-/m yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi.

B.        Bahan Bangunan
Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Akan tetapi kayu ini hanya dapat diperoleh dari hasil penjarangan.
C.        Bahan Baku Chip
Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton.

D.        Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga mencapai 2-10 ribu yen.

E.         Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun. Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Berdasarkan hasil penelitian, hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.

F.         Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes.

G.        Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove
Telah di ulas sebelumnya bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowija, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak.

Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun. Data ini menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan silvofoshery. Data dari Badan Litbang Pertanian (1986) menggambarkan bahwa kontribusi dari usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani kecil.

H.        Pertanian
Keberadaan hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter.

I.           Pariwisata
Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai – pantai yang memiliki areal mangrove seluas 40,00 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.


Daftar Rujukan :
(1).     Anwar , Chairil., Gunawan, Hendra. 2009 . Mengapa Ekosistem Hutan Mangrove (Hutan Bakau) harus diselamatkan dari Kerusakan Lingkungan. (Online). (http://www.ubb.ac.id/, diakses 12 Januari 2011)
(2).     Bombana Dalam Angka Tahun 2008
(3).     Infowanapal, 2010. Hutan mangrove. (Online). (Infowanapal.blog/, diakses 11 Januari 2011)
(4).     Nengah, I Subadra. 2009. Reboisasi Hutan Mangrove sebagai Salah Satu Upaya untuk Mengurangi Global Warming. (Online). (stop global warming.blog, diakses 12 Januari 2011)
(5).     Salam , M. Tarigan. 2008.  Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Teluk Pising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Makara Sains,  Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta

0 Response to "MANGROVE KABAENA"

Posting Komentar