Potensi Wilayah Adat Kabaena - Kaindea Tokotua

POTENSI WILAYAH ADAT KABAENA (KAINDEA-TOKOTUA)
STUDI PEMETAAN PARTISIPATIF WILAYAH ADAT (PPWA)
Pusat Studi Kabaena Centre


A.       LATAR BELAKANG

Pembangunan seringkali dipersepsikan berada pada sisi yang berlawanan dengan upaya kegiatan konservasi. Pembangunan berkelanjutan menawarkan pemahaman yang mendudukkan pembangunan tidak semata-mata berorientasi kepada kepentingan ekonomi, tetapi secara bersama-sama memberi nilai tambah bagi aspek ekologi dan sosial. Konsep ini mengintegrasikan pembangunan yang memenuhi keseimbangan aspek ekonomi, ekologi dan sosial (profit, planet and people).  Hutan kabaena mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di pulau utama rencana pemekaran Kabupaten Kabaena Kepulauan. Dengan luas area daratan mencakup 24 persen (873 Km2) dari wilayah Kabupaten Bombana, Kabaena merupakan pulau utama pusat kekayaan sumber hayati yang memberikan nilai ekonomi, ekologi serta sosial. Dengan luas kawasan hutan primer dan sekunder yang mencapai 58 persen (50.025 Ha data 2014) tidak dapat dipungkiri betapa pentingnya kontribusi ekologis hulu Kabaena dimasa mendatang terhadap wilayah hilir nantinya untuk menuju otonomi kabaena yang lebih luas. 

Peta Tataguna Lahan Kabaena

Sumber: Peta RTRW Bombana 2011-2031; RTRW Sultra 2014-2034

Tabel 1. Tataguna Lahan Kabaena
No
Uraian
Luas
Km2
Ha
%
1
Luas Pulau Kabaena
873,00
87.300
100
2
Hutan Primer
164,54
16.454
19
3
Hutan Sekunder
336,75
33.675
39
4
Pertanian Lahan Kering
181,92
18.192
21
5
Hutan Bakau (Mangrove)
24,27
2.427
3
6
Semak
88,95
8.895
10
Sumber: Pengolahan Data


Sumber: Peta RTRW Bombana 2011-2031; RTRW Sultra 2014-2034
                                                 Tabel 2. Luas Hutan Lindung Pulau Kabaena
No
Uraian
Luas
Km2
Ha
%
1
Luas Pulau Kabaena
873,00
87.300
100
2
Hutan Lindung
216,80
21.680
25
3
Hutan Produksi
164,54
16.454
13
4
Hutan Produksi Terbatas
336,75
33.675
2
5
Wilayah Buton Tengah
54,99
5.499
6
6
Danau Mahembo
0,171
17,10
0,02
7
Rawa Umala
0,025
2,50
0,003
8
Areal Penggunaan Lain
472,34
47.234
54
Sumber: Pengolahan Data

Rencana Induk Pelabuhan (RIP) & Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS)-Pelsus Kabaena
Sumber : Rencana Induk Pelabuhan (RIP) Sultra RTRW 2011-2031


Tabel 3. Tambang Terbuka (Open Pit Mining ) dan TUKS Pulau Kabaena
No
Uraian
Luas Open Pit
Lokasi
m2
Ha
1
PT. Trias Jaya Agung-PT. Alamharig
1.130.000
113,00
Rahampu’u-Langkema
2
PT. Tiga Mas Nusantara-PT.SSU
730.000
73,00
Malandahi
3
PT. Arga Morini Indah
5.680.000
568,00
Wulu
4
PT. Rohul Energi Indonesia
270.000
27,00
Lengora Pantai
5
PT. Abalong
145.000
14,5
Lengora
6
PT. Cahaya Saga Utama
168.000
16,80
Wumbulasa
7
PT. Shantung Mineral Resources
-
-
Patengge
8
PT. Tekonindo & PT. Tambang Bumi Sulawesi (TBS-Perusda)
470.000
47,00
Pongkalaero
9
PT. Anugerah Harisma Barakah
4.410.000
441,00
Malapulu
10
PT. Billy Indonesia
450.000
45,00
Dongkala
11
PT. Timah Eksplomin
260.000
26,00
Baliara
Jumlah
13.713.000
1.371,30

Sumber: Pengolahan Data

Saat ini penambangan terbuka di kabaena terus meningkat setiap tahun dengan luas lahan telah mencapai 13.713.000 m2 atau 1.371,30 ha dengan demikian terdapat beberapa tantangan perencanaan pemetaan dan tata guna lahan yang sangat perlu mendapat perhatian di Kabaena :
1.    Pertama, pengelolaan hutan telah menyebabkan berkurangnya tutupan hutan sehingga dukungan fungsi ekologis dari hutan ikut menurun, dibutuhkan SDM kehutanan kabaena yang paham kondisi lingkungan dan hutan kabaena.
2.    Kedua, kawasan pertambangan yang dikelola secara konvensional metode open pit mining yang membabat hutan dengan bukaan tutupan lahan yang berpotensi terus bertambah bila tidak disertai metode reklamasi pasca tambang dapat mengancam lingkungan hidup dan hutan pulau kabaena dalam kurun waktu yang lama akan mewariskan kerusakan lingkungan turun temurun.
3.     Ketiga, kondisi lahan yang dapat difungsikan sebagai kawasan pertanian, perkebunan, maupun kehutanan luasnya relatif tetap namun kebutuhan terhadap lahan justru semakin meningkat. Hal ini apabila tidak dipecahkan dapat menyebabkan munculnya potensi konflik terkait penggunaan lahan dimasa mendatang.
4.   Keempat, permen LHK tentang perhutanan social yaitu suatu system pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika social budaya dengan penetapan kawasan lokasi indikatif dan areal perhutanan social di kabaena berpotensi merubah status dan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi karena sebagian besar lokasi indikatif izin pengelolaan hutan justru disekitar kawasan pertambangan.

Lokasi Indikatif Arahan Perhutanan Sosial Kabaena 

Sumber : Peta Indikatif & Areal Perhutanan Sosial PIAPS2210 Kepmen LHK 2017

Dalam menghadapi berbagai pilihan penggunaan lahan atau sumber daya alam, tahap perencanaan merupakan tahapan yang krusial dalam rangka mendorong pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Perencanaan tersebut hendaknya melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Kalangan pemerintah, sektor swasta, masyarakat lokal, masyarakat adat, kelompok perempuan maupun LSM merupakan pihak-pihak yang perlu dilibatkan. Sehingga, perencanaan tersebut memasukkan berbagai pertimbangan baik biofisik, ekonomi, sosial maupun hak-hak tradisional masyarakat. 

Pemetaan partisipatif wilayah adat adalah salah satu program yang sangat mendesak dilakukan untuk menata ulang hubungan masyarakat adat kabaena dengan negara, khusus terkait kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam di wilayah-wilayah adat Kabaena. Bagi Masyarakat Adat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, data dan informasi tentang wilayah adat ini dapat digunakan untuk menyambut pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA), berbagai inisiatif pembentukan Peraturan Daerah di banyak Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia telah banyak dilakukan, dengan potensi wilayah adat kabaena kepulauan diharapkan dapat turut serta melaksanakan program kebijakan Satu Peta (One Map Policy), mencegah sejak dini timbulnya konflik lahan dan ruang dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur nasional dan pengembangan Poros Maritim.

Sejarah warisan budaya adalah fasilitas yang sangat berharga, dan mengandung nilai-nilai peradaban sejarah manusia masa lampau. Mempertahankan nilai-nilai peradaban masa lampau itu, membutuhkan perlakuan pengurusan, pemeliharaan menyeluruh, dan berkelanjutan dari berbagai pihak dengan melakukan penyaringan budaya yang sesuai dengan karakter masyarakat/bangsa, memiliki nilai positif yang tidak bertentangan terhadap nilai moral dan keagamaan yang berlaku. Belum optimalnya strategi pengurusan pemeliharaan kekayaan warisan budaya disebabkan rendahnya komitmen antar pemangku kepentingan antara lain stakeholder; pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta, dan masyarakat terhadap pengelolaan warisan itu di kabaena. Sedangkan yang menjadi faktor penyebabnya, antara lain kurangnya pemahaman, apresiasi, kreativitas dan kesadaran pemangku kepentingan itu. Dimana arti dan pentingnya benda cagar budaya sebagai sarana bisnis, edukasi, rekreasi dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi umumnya kurang mereka punyai. Tujuan utama dari kajian potret warisan budaya kabaena ini antara lain adalah (a) memaparkan potret warisan budaya di Kabaena; (b) mengenal pasti upaya-upaya kebijakan advokasi yang sudah pernah dilakukan terhadap kasus-kasus dan perkembangannya; (c) membangun strategi pemeliharaan warisan budaya yang bernilai positif berbasis pemetaan yang berlandaskan nilai moral dan keagamaan; (d) pengakuan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat kabaena menuju otonomi kabaena yang lebih luas.

Kabaena memiliki kekayaan seni budaya, serta pesona alam yang eksotik dan kearifan lokal yang masih terjaga dengan baik. Untuk masa kini dan yang akan datang, pelestarian warisan budaya Kabaena  merupakan isu strategis yang sangat mendasar ditengah kehidupan masyarakat modern saat ini. Antara lain untuk kepentingan nilai-nilai kesejarahannya yang berharga dan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal maupun nasional. Keragaman  warisan budaya  adalah salah satu faktor penting sebagai bisnis industri wisata budaya. Sebab hal ini adalah pemasok utama, dan sumber daya kreatif bagi perekonomian daerah.

  
B.       MASYARAKAT HUKUM ADAT

1)         Dasar Konstitusional Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat
UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada sebelum proklamasi Republik Indonesia. Dalam penjelasan UUD 1945 dituliskan bahwa:  “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.” Ketika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, bagian penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya. Kemudian dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tidak tiga ketentuan utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Tabel 4 :
Perbandingan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal-Pasal UUD 1945
Pasal UUD
Perbandingan Isi
Pasal 18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 32 ayat (1) dan (2)
Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Tiga ketentuan tersebut yang paling sering dirujuk ketika membicarakan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Meskipun demikian tidak berarti bahwa dasar konstitusional bagi hak masyarakat hukum adat hanya pada tiga ketentuan tersebut. Masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia juga memiliki hak-hak konstitusional sebagai warga negara misalkan untuk mendapatkan penghidupan yang layak, lingkungan yang baik, persamaan di hadapan hukum dan hak-hak lainnya. Tiga ketentuan konstitusional yang paling sering dirujuk ketika membicarakan mengenai keberadaan dan hak masyarakat hukum adat tersebut memiliki substansi dan pendekatan yang berbeda dalam memandang masyarakat hukum adat. Perbedaan tersebut ditampilkan dalam tabel berikut :

Tabel 5 :
Konstruksi pengaturan keberadaan  dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam UUD 1945
Ketentuan
Pendekatan
Substansi
Tanggungjawab Negara
Pembatasan/ persyaratan
Pasal 18B ayat (2)
Tata Pemerintahan
Menyangkut subyek sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat
Negara mengakui dan menghormati. Selanjutnya diatur di dalam undangundang
Dengan persyaratan sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam undang-undang
Pasal 28I ayat (3)
Hak Asasi Manusia
Menyangkut identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
Negara menghormati
Dengan persyaratan selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2)
Kebudayaan
Menyangkut hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya bahasa daerah
Negara menghormati dan menjamin kebebasan


Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang.
Meskipun demikian, kebutuhan akan adanya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai masyarakat adat telah lama didorong oleh organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan bahkan telah disambut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyiapkan Draf Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). Kebutuhan akan sebuah UU tentang masyarakat hukum adat juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK No. 35.

Putusan MK No. 35 menghendaki bahwa diperlukan sebuah undangundang khusus mengenai masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, semua peraturan perundang-undangan baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah haruslah dianggap sebagai peraturan yang dibuat untuk mengisi kekosongan undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.
Materi muatan Pasal 28I ayat (3) ini hampir sama dengan materi muatan Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi: Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

UU HAM lahir satu tahun sebelum dilakukannya amandemen terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Sehingga, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dan juga beberapa ketentuan terkait hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi mengadopsi materi muatan yang ada di dalam UU HAM. Namun ada sedikit perbedaan antara Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan Pasal 6 ayat (2) UU HAM. Pasal 6 ayat (2) UU HAM mengatur lebih tegas dengan menunjuk subyek masyarakat hukum adat dan hak atas tanah ulayat. Sedangkan Pasal 28I ayat (3) membuat rumusan yang lebih abstrak dengan menyebut hak masyarakat tradisional. Hak masyarakat tradisional itu sendiri merupakan istilah baru yang sampai saat ini belum memiliki definisi dan batasan yang jelas. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga mempersyaratkan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman. Bila dibandingkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka rumusan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 memberikan persyaratan yang lebih sedikit dan tidak rigid. Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 ini adalah pendekatan HAM. Hal ini nampak jelas dalam sistematika UUD 1945 yang meletakkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan dengan hak-hak asasi manusia lainnya.2 Oleh karena itu, instansi pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam landasan konstitusional ini adalah Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya terdapat Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berkaitan dengan hak atas kebudayaan dan bahasa daerah. Kedua ketentuan ini berkaitan dengan hak atas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat antara lain hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah. Ketentuan ini menjadi pelengkap bagi ketentuan lainnya di dalam konstitusi berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Berbagai undang-undang terkait pertanahan dan pengelolaan kekayaan alam, seperti kehutanan, mendelegasikan pengaturan dan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat itu kepada pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda).

2)         Pengaturan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Undang-Undang
Pengaturan masyarakat hukum adat juga ditemukan dalam sejumlah undang-undang. Dalam konteks tata pemerintahan, pertama kali istilah masyarakat hukum adat ditemukan secara resmi di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia adalah pada UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam undangundang tersebut masyarakat hukum adat dipertimbangkan sebagai bagian dari pemerintahan republik yang akan berkedudukan sebagai daerah otonom pada tingkat ketiga, bersamaan dengan desa. Selanjutnya dalam UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapau Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini masyarakat hukum adat dan kesatuan-kesatuan hukum lainnya yang berbasis territorial ditetapkan sebagai daerah tingkat ketiga yang disebut dengan Desapraja. Bahkan di dalam undang-undang itu pula disadari pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam menyukseskan agenda revolusi. Kemudian dalam konteks hukum agraria pengaturan mengenai masyarakat hukum adat terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Dalam hal ini masyarakat hukum adat bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah bekas hak erfpact bahkan bekas hak guna usaha (HGU), penguasaannya dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa dicapai. Kemudian penyebutan masyarakat hukum adat terdapat dalam pengaturan pengakuan keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.

Pada masa Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat. Tercatat hanya UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang menentukan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara dalam bidang pengairan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 3 ayat [3]). Undang-undang ini sekarang sudah tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang juga menyebut masyarakat hukum adat yang harus diperhatikan. Pasal 6 ayat (2) UU ini menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) memberikan arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.

Pada masa pasca Orde Baru sejak tahun 1998 ada banyak undang-undang yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR yang mengatur mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Dalam 15 tahun sejak 1999 sampai tahun 2017 saja telah terdapat sekurang-kurangnya dua puluh tiga undang-undang yang mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Undang-undang tersebut antara lain:
1.         UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2.         UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3.         UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
4.         Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
5.         UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
6.         TAP MPR. No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
7.         UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
8.         UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
9.         UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
10.     UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
11.     Surat Edaran No. S.75/MenhutII/2004 tentang Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh  Masyarakat  Hukum Adat
12.     UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
13.     UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
14.     UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
15.     UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
16.     Permen No. 2 Tahun 2009 tentang Tatacara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
17.     UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
18.     UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
19.     Permen no 30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
20.     Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat
21.     UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan 
22.     UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
23.     UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
24.     Undang-undang otonomi khusus sebagai berikut:
-        UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
-        UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
-        UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta
25.     Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
26.     Permen LHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.I/10/2016 tentang Perhutanan Sosial
27.     UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
28.     Permen LHK No. 34/2017 tentang Tatacara Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Local

3)         Kedudukan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan masyarakat hukum adat merupakan subyek hukum khusus yang keberadaannya harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Terdapat sejumlah perbedaan mengenai kriteria kesatuan masyarakat hukum adat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dikemukakan di atas.  Terdapat ragam kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda  antara satu undang-undang dan undang-undang lain. Padahal semua kriteria tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Kriteria lain ditemukan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam    Perkara  No.  31/PUU-V/2007 mengenai Pengujian  UU No.  31  Tahun  2007  tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menafsirkan maksud dari tiga syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dengan kriteria berikut: 1. ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;  2. ada lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;  3. ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;  4. ada norma hukum adat yang masih berlaku; dan  5. ada wilayah adat tertentu; Dengan demikian, maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terdapat lima kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yaitu ada masyarakatnya, ada lembaga adatnya, ada harta kekayaan bersama, ada norma hukum adatnya, dan ada wilayah tempat keberadaannya. Suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang memenuhi kelima kriteria itu berkedudukan sebagai subyek hukum dan oleh karenanya memiliki hak dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan mengenai sifat kesatuan masyarakat hukum adat dalam tiga karakter, yaitu genalogis, territorial, dan fungsional. Sifat genealogis artinya suatu kesatuan masyarakat hukum adat terikat karena satu asal usul keturanan atau pertalian dasar. Sifat territorial menekankan kepada kesamaan wilayah tempat tinggal. Sementara itu sifat fungsional berarti kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih menjalankan fungsi-fungsi sosialnya melalui lembaga adat. Kesatuan masyarakat hukum adat dapat bersifat genealogis dan teritoral, tetapi juga bisa bersifat genalogis, territorial dan fungsional. Kesatuan masyarakat hukum adat dengan sifat genealogis, territorial dan fungsional dapat ditetapkan sebagai desa adat berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

a)         Wilayah Adat   
Wilayah adat adalah ruang kehidupan yang menjadi tempat keberadaan suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang penguasaan, penggunaan dan pengelolaannya dilakukan menurut hukum adat. Pada wilayah adat tersebut bisa terdapat tanah adat dan hutan adat. Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yang jenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat. Sedangkan hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.  Kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengurus wilayah adat dan sumber daya alam yang ada pada wilayah adat tersebut disebut dengan hak ulayat. Hak ulayat atau disebut dengan nama lainnya adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Wilayah adat memerlukan batas-batas untuk menjamin kepastian spasial dan juga kepastian hukum apabila terjadi sengketa berkaitan dengan wilayah adat. Oleh karena itu diperlukan batas-batas wilayah adat baik alam maupun batas dengan komunitas lainnya. Batas-batas wilayah adat tersebut dapat dipetakan atas prakarsa kesatuan masyarakat hukum adat atau oleh dinas/instansi terkait bersama-sama dengan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan demikian, pemetaan partisipatif yang selama ini telah dilakukan oleh komunitas-komunitas bisa dipergunakan untuk menentukan batas-batas wilayah adat. Hasil dari pemetaan tersebut kemudian perlu mendapatkan persetujuan dari komunitas masyarakat yang berbatasan dengan wilayah adat. Untuk menjamin bahwa proses pemetaan dilakukan secara partisipatif dan transparan, maka hasil pemetaan yang telah dilakukan perlu diumumkan kepada publik untuk membuka peluang komplain.  Hasil pemetaan dijadikan sebagai lampiran dalam Peraturan Daerah Pengaturan dan/atau Penetapan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dalam hal peta batas-batas wilayah adat tidak dapat dilampirkan di dalam Peraturan Daerah, maka pemetaan dilakukan paling lambat satu tahun sejak ditetapkan Peraturan Daerah mengenai Kesatuam Masyarakat Hukum Adat. Penetapan peta yang dilakukan setelah diundangkannya peraturan daerah ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Kemudian instansi pertanahan di daerah bisa mencatatkan peta wilayah adat ke dalam buku tanah dengan tanda kartografi khusus sebagai wilayah adat.  Selain itu, Pemerintah Daerah juga harus menempatkan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dilakukan dengan persetujuan dari kesatuan masyarakat hukum adat.

b)        Hukum Adat
Adanya norma hukum adat merupakan salah satu kriteria dari kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu Peraturan Daerah perlu mengatur mengenai kedudukan hukum adat. Namun yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai Perda mengatur terlalu banyak norma hukum adat sehingga bisa menghilangkan karakter hukum adat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang biasanya tidak tertulis. Peraturan Daerah perlu mengatur bagaimana hukum adat dan peradilan adat yang tumbuh di dalam masyarakat bisa tetap berjalan sebagaimana telah dipraktikkan oleh kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu pengaturan di dalam Peraturan Daerah lebih pada upaya untuk mengakui, daripada mengatur atau mengkristalisasi norma hukum adat menjadi norma hukum negara yang ditetapkan di dalam Peraturan Daerah.   Pengaturan di dalam Peraturan Daerah terbatas para pernyataan bahwa pemerintah daerah mengakui keberadaan hukum adat dan peradilan adat yang tumbuh dan berkembang dalam kesatuan masyarakat hukum adat. Selanjutnya memberikan batasan yang prinsipil sebagai penerjemahan dari asas-asas dalam peraturan daerah bahwa pelaksanaan hukum adat harus memperhatikan prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia dan pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
                                       
 c)         Penetapan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Peraturan daerah mengatur mengenai bagaimana tata cara penetapan suatu komunitas menjadi kesatuan masyarakat hukum adat. Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dilakukan dengan Peraturan Daerah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat tertentu.  Secara formal, prakarsa pembentukan Peraturan Daerah berasal dari Pemerintah Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, namun masyarakat juga dapat mengajukan surat meminta kepada Pemerintah Daerah atau DPRD untuk membuat peraturan daerah mengenai penetapan kesatuan masyarakat hukum adat. Prakarsa yang berasal dari masyarakat tersebut dapat diajukan secara tertulis kepada Pemerintah Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tahapan berikutnya dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah pembentukan Tim Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah yang terdiri atas: a. Tokoh masyarakat hukum adat setempat. b. Akademisi dengan latar belakang ilmu sosial dan ilmu hukum. c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukan pendampingan masyarakat hukum adat atau pemetaan wilayah adat. d. Dinas/instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan keberadaan dan hak kesatuan masyarakat hukum adat.

d)        Penyelesaian Hak Individu, Perusahaan dan Kawasan Hutan
Hal yang tidak kalah penting untuk diatur di dalam Peraturan Daerah tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah mengenai status dari hak individu, izin atau hak perusahaan dan kawasan hutan yang telah lebih dulu ada pada wilayah adat sebelum Peraturan Daerah mengenai Penetapan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dibentuk. Hal ini penting diatur supaya ketika Peraturan Daerah tentang penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dibuat, konflik-konflik kawasan bisa mendapatkan jalur hukum penyelesaian yang jelas. Berikut jalur penyelesaian hak individu, hak dan izin yang dimiliki oleh perusahaan, dan kawasan hutan yang terdapat di dalam wilayah adat kesatuan masyarakat hukum adat.
1.       Hak individu atas tanah
Hak individu atas tanah bisa timbul karena hukum adat atau diberikan oleh negara. Hak individu tersebut harus tetap dilindungi oleh hukum adat dan juga hukum negara. Sehingga tidak boleh dengan berlakunya peraturan daerah kesatuan masyarakat hukum adat menyebabkan seorang warga negara menjadi kehilangan hak atas tanah, sepanjang perolehan hak atas tanah tersebut diperoleh secara sah berdasarkan hukum adat dan hukum negara. 
2.       Izin atau hak atas tanah yang dimiliki perusahaan
Pada prinsipnya izin atau hak atas tanah yang berjangka waktu yang dimiliki oleh perusahaan di dalam wilayah adat kesatuan masyarakat hukum adat dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak atas tanah tersebut. Apabila izin atau hak atas tanah tersebut berakhir, maka tanah tersebut kembali dalam penguasaan kesatuan masyarakat hukum adat. Namun apabila pemegang izin atau hak atas tanah teresebut hendak memperpanjang izin atau haknya, maka hal itu baru bisa dilakukan oleh instansi pemerintah pemberi izin dan hak atas tanah setelah mendapatkan persetujuan dari kesatuan masyarakat hukum adat. Terlepas dari ketentuan di atas, semua izin dan hak atas tanah yang dimiliki oleh perusahaan dapat ditinjau ulang berdasarkan tuntutan yang mendesak dari kesatuan masyarakat hukum adat apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat.

3.       Kawasan hutan
Apabila wilayah adat yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah ternyata sebelumnya telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah, maka status penunjukan dan penetapan tersebut harus ditinjau ulang. Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat tersebut telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah tersebut ditetapkan sebagai hutan adat. Namun apabila wilayah adat tersebut telah difungsikan oleh kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka wilayah tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan.

  
C.     KEARIFAN LOKAL DAN BUDAYA KABAENA

1)         Sejarah, Kearifan Lokal dan Kebudayaan
a)         Sejarah
Sejarah merupakan disiplin ilmu yang paling luas ruang lingkup objek studinya. Objek material studi sejarah adalah suatu rekonstruksi atas segala sesuatu yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh orang yang menimbulkan perubahan (change) melalui dimensi waktu, sementara objek formal sejarah sebagai alat analitis objek materialnya adalah bisa menggunakan swadisiplin (sejarah) dan ilmu social humaniora lainnya. Sejarah adalah ilmu tentang perubahan, dictum fundamental sejarah adalah “no document no history (tanpa dokumen-sumber sejarah-tidak ada sejarah)”. Oleh karena itu tanpa memenuhi kedua indicator kesejarahan itu kreasi penceritaan tentang entitas masa lampau umat manusia haram disebut sebagai karya sejarah tetapi lebih tepat dinamakan fiksi. Kelangkaan sumber-sumber sejarah materil sources seperti dokumen, arsip, foto, dan peninggalan artefak maupun sumber lisan (oral sources) yang berupa sejarah lisan (oral history) dan tradisi lisan (oral tradition) merupakan persoalan klasik–struktural yang melilit rekonstruksi sejarah local Sulawesi tenggara khususnya kabaena sejak dahulu. Oleh karena itu diperlukan pendekatan metodologis yang tepat untuk menguak fakta-fakta historis dari mitos-mitos kabaena yang ada melalui salah satu pendekatan ilmiah hermeneutika filosofis yaitu studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi entitas teks sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis.

b)        Kearifan Lokal
Globalisasi merupakan era yang sangat terbuka dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi yang berawal dari kepentingan ekonomi berdampak pada semua aspek kehidupan di seluruh dunia. Nilai-nilai yang bersifat global dijadikan sebagai sebuah tatanan yang dapat menggantikan tatanan yang bersifat lokal atau regional. Diperlukan pemaknaan ulang dalam proses globalisasi. Pemaknaan tersebut bertujuan untuk memunculkan wacana alternatif. Salah satu alternatif pemikiran itu ialah upaya pemanfaatan budaya-budaya daerah yang memiliki nilai-nilai positif, tidak bertentangan dengan nilai moral dan keagamaan sebagai salah satu kegiatan dalam menananamkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa melalui pemetaan potensi adat masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Ide lokal seperti yang dikemukakan di atas sangat memungkinkan dapat digunakan sebagai materi alternatif dalam mendekonstruksi makna globalisasi. Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok budaya tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, aspek-aspek budaya yang dimiliki masyarakat lokal merupakan hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Nilai-nilai arif itu harus dimunculkan untuk dikenalkan kepada dunia sebagai wacana alternatif dalam usaha pemenuhan dekonstruksi itu.
“Kearifan lokal menurut UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup Bab: I Pasal I Butir 30 adalah: nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat  antara lain melindungi dan mengelolah lingkungan hidup secara lestari”.
Penggunaan aspek kearifan lokal dalam pemetaan berarti mengangkat nilai lokal dalam pemahaman tataruang wilayah salah satunya terhadap ancaman perusakan lingkungan. Nilai lokal ini akan  menunjukkan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Pada saat informasi dengan sangat mudah diakses oleh siapa pun, kekuatan lokal akan mempunyai daya jual dan daya tawar yang tinggi. Nilai lokal yang unik inilah yang akan menjadi sebuah nilai jual dalam komunitas global. Hampir semua nilai lokal yang masuk dalam nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sumber dan inspirasi untuk memperkaya pengembangan nilai-nilai kehidupan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal banyak membantu masyarakat dalam mempertahankan hidup. Kearifan lokal merupakan kumpulan ciri budaya dari mayoritas masyarakat sebagai hasil dari pengalaman hidup mereka. Pengertian tersebut menyangkut: (1) ciri budaya, (2) sekelompok manusia sebagai pemilik budaya, dan (3) pengalaman hidup yang menghasilkan ciri budaya.

c)         Kebudayaan
Linton (1945) mendefenisikan budaya sebagai suatu konfigurasi perilaku yang dipelajari  atau konfigurasi perilaku yang diperoleh sebagai akibat saling berbagi dan menyebarnya unsur berbagai komponen melalui anggota dari suatu masyarakat tertentu. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: 1. alat-alat teknologi. 2. sistem ekonomi. 3. Keluarga. 4. Kekuasaan politik. Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
§  Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
§  Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.

Konvensi budaya di Eropa tahun 1994 memandang pendidikan multikultural sebagai conditio sine qua non yang dapat membingkai secara legal konsep “learning to live in democratic society” sehingga akan memunculkan perilaku yang penuh tanggung jawab, dapat mengelola konflik dengan baik sehingga dapat hidup dengan penuh kedamaian, konvensi tersebut berpandangan bahwa kehidupan abad ke-21 merupakan kehidupan yang penuh dengan perbedaan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu kemampuan yang dapat mengatasi hal-hal ambigu dan saling bertentangan. Pendidikan multikultural mencoba mempersiapkan generasi muda agar dapat hidup dalam segmen yang tinggi, multifacet, multilingual, dan mendorong mekarnya pemahaman yang tinggi akan berbagai konsep budaya karena kenyataannya banyak layar lapis budaya yang mesti diungkap serta dikembangkan sejalan dengan perkembangan peradaban namun selaras pula nilai-nilai keagamaan.

Dalam konteks ini budaya dibatasi sebagai suatu proses yang menampilkan alam bermasyarakat yang plural dan saling belajar menghargai warisan luhur etnik budaya masing-masing (mikrokulturmikrokultur) yang ada dengan dengan memiliki kebajikan dasar (basic godnes) yang universal dan dijalani dalam kehidupan sehari-hari (common values) sebagai kekuatan untuk dapat menjalin suatu keharmonisan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan masyarakat ’kampung dunia’. Batasan tersebut mencoba memasyaratkan isu act locally and think globally (berperilaku budaya setempat dan berpikir global). Artinya, pemetaan dengan tataruang kandungan lokal yang dimiliki mikrokultur dari berbagai ragam budaya yang ada di pulau Kabaena mesti lebih diberdayakan. Dari kokohnya kandungan lokal itulah kelak pendidikan budaya akan tumbuh berkembang secara signifikan dan bermakna untuk memperkenalkan kabaena secara global.

2)         Budaya Kabaena
Masyarakat Kabaena yang mendiami daerah pulau kabaena dan sekitarnya merupakan Suku Moronene disebut To Kotua. Suku Moronene yang mendiami daratan Bombana disebut To Moronene (Keuwia dan Lembopari) sekitar abad ke-VIII. Namun demikian, adat istiadat To Kotua dan To Moronene pada prinsipnya sama. Begitu pula bahasa yang dipergunakan sama yaitu bahasa Moronene. Dimana Keuwia, Lembopari dan Tokotua adalah 3 (tiga) protektorat kedatuan moronene masa lampau yang berasal dari keturunan yang sama. Sebelum suku Moronene mendiami daerah pulau Kabaena, diduga sudah ada penduduk sebelumnya yang menghuni daerah tersebut, beberapa sebutan bagi masyarakat asli kabaena itu seperti Kowonuano atau Morefu adalah suku asli awal yang bermukim di pesisir-pesisir sungai dan di gua-gua batu (Gua Watuburi, Olondoro dan Sabanaano) mereka hidup dari binatang hasil buruan. Jumlah mereka sangat kecil dan tinggal terpencil antara keluarga yang satu dengan yang lain. Kemudian periode selanjutnya datang rombongan dari daratan Bombana dibawah pimpinan Sawerigading dari Luwu dan Waka-Kaa yang melakukan pelayaran dan singgah dipulau kabaena. Pada gelombang ke dua suku Moronene, Doosiolangi (Gelar Da Tebota Tulanggadi) dan Indaulu (Gelar Da Tebota Wulele Waru- dipanggil Walu’Ea setelah suaminya meninggal) keturuan Nungkulangi mokole-III polea & rumbia masih kerabat sawerigading bersama 7 orang tamalaki tiba di kabaena (abad ke-XI). Pada mulanya mereka mendarat di Pelabuhan Sikeli berkonsolidasi di suatu tempat kemudian bermukim dan menetap yang disebut Wumbu Geresa-Wataroda. Sejak saat itu, suku Moronene menempati daerah ini sampai terbentuknya pusat pemerintahan pertama Mokole To-Kotua di E’e Mpu”u. Kemudian terbentuk kampung-kampung tua awal seperti, Poo, Poo Rempe, Lembo Ea, Tuliano, Topongkoo, Olondoro, Olongkontara, Laohama, Poliaha, Iniamate, Lalonamangka, Reteno, Pebuaeha, Darianga, Balao, Wonua, Pu’uwatu, Manuru, Eete, Laera, Katoea, Peropa sampai kemudian ibukota pusat pemerintahan pindah ke wilayah Poo Rempe atau yang lebih dikenal kemudian sebagai Tangkeno.

Sebagaimana etnis buton, muna dan moronene yang menganggap pu’u wonua (cikal bakalnya) berasal dari luar daratan sulawesi tenggara. Fakta-fakta sejarah yang terdapat pada kisah tentang Waka-Kaa yang di kabaena kemudian mirip dengan pola folklor buton bahwa di antara keturunan orang Buton ialah hasil perkawinan antara seorang pria Jawa, Sibatara dengan putri Cina Waka-Kaa yang tiba di buton. Sibatara dalam pemahaman sejarah lokal Buton adalah seorang penggawa Kerajaan Majapahit yang ditugaskan di negeri Buton untuk menangani segala urusan kerajaan terbesar di Nusantara itu. Negeri Buton pada saat itu merupakan vasal Kerajaan Majapahit (Manarfa, 1948: 15–30; Aslim, 2006: 33). Waka-Kaa sementara itu adalah seorang penggawa Dinasti Yuan Khubilai Khan dari china yang menyelamatkan diri di Buton yang kemungkinan sebelumnya singgah di pulau kabaena bersama rombongan membentuk pemerintahan kamokolean, melantik raja dan menjadi dewan syara keadatan kabaena pertama sekitar tahun 1293 M setelah tahun sebelumnya bersama Raden Wijaya (wangsa Kerajaan Singasari) dan pasukan Madura dengan pimpinan Arya Wiraraja berperang melawan Kerajaan Kediri. Ketiga pasukan sekutu pada peperangan itu sukses mengalahkan Kerajaan Kediri, laskar Khubilai Khan justru kemudian diserang secara tiba-tiba oleh para prajurit Raden Wijaya di saat hendak kembali ke negeri Cina. Serangan dadakan tersebut tidak mampu dilawan oleh pasukan Khubilai Khan. Akhirnya, Waka-Kaa melarikan diri sampai ke Pulau Buton dan kemudian menikah dengan Sibatara serta diangkat sebagai ratu pertama negeri Buton karena kemampuan administrasi pemerintahannya (Manarfa, 1948: 15–30; Aslim, 2006: 33). 

Kisah Da Tebota Tulanggadi-Da Tebota Wulele Waru serta kisah Waka-Kaa seorang Sangia Pertama kabaena disebutkan sebagai “Turuna Binta Sinangkobino Langi, Tinendeteno Wita” yang direpresentasikan sebagai orang suci yang turun dari langit serupa dengan mitos Oheo-Anawai Ngguluri forklor lisan yang menyatakan bahwasanya nenek moyang suku bangsa tolaki secara eksplisit disebutkan dari jawa dan langit (tarimana, 1985:50-53). Sarasin (1905:374) dan kruijt (1922:428) menyatakan salah satu unsur leluhur suku bangsa tolaki berasal dari china dimana dahulu suku bangsa tolaki menamakan dirinya Tolahianga (orang langit), kemungkinan maksudnya semacam dari kerajaan langit. Needham (1975:53) menyatakan proposisinya bahwa yang dimaksud dengan kerajaan langit pada masa dahulu adalah China. Proposisi itu mengandung unsur kebenaran ilmiah dimana slamet muljana (2005:185-186) menjelaskan bahwa tahun 1253 kaisar kubilai khan dari mongol telah menguasai seluruh tiongkok dan menyebut dirinya putra langit. Kubilai khan telah banyak mengirim ekspedisi militer bercita-cita menguasai seluruh daratan asia dan lautannya untuk mengakui kekuasaannya sebagai putra langit dan mempersembahkan upeti ke istana syang-tu, bagi yang tidak mau tunduk dan enggan menyerahkan upeti akan ditindak dengan kekuatan militer.

Perkampungan tua awal kabaena selanjutnya mulai hilang karena perpindahan penduduk dimulai dari adanya perompak bajak laut tobelo, penjajahan belanda dan jepang serta gangguan keamanan DI/TII Sulawesi dimana mereka pindah membuat perkampungan ditempat baru yang disepanjang aliran-aliran sungai seperti Lakambula (Rahadopi-Teomokole-Rahampu’u-Sikeli), sungai Waombu (Lengora-Lamonggi-Tedubara-Emokolo), Sungai Lameroro (Enano-Ulungkura-Balo-Dongkala), sungai Kalaero-Lapulu (Olondoro-Batuawu-Pongkalaero-Malapulu). Masyarakat kabaena daratan ini sejak lama hidup berdampingan pula dengan pemukiman suku Sama-Bajau (Suku Laut) dipesisir pantai kabaena dan pulau sagori sebagaimana digambarkan oleh Horst H. Liebner didokumentasikan dalam manuskrip belanda Ternatan Fleet tenggelamnya 5 (lima) armada dagang VOC yang membawa 581 serdadu, perwira dan saudagar untuk penaklukan ambon dan banda tahun 1650 (368 tahun yang lalu) bahwa selat kabaena yang dilewati merupakan salah satu jalur utama perdagangan rempah-rempah di nusantara, demikian pula karya ilustrator Grundler (1871) dan antropolog Johannes Elbert dalam sunda expedition (1911) serta H.A Brouwer dalam expedisi Celebes (1929) menunjukkan secara detail kekayaan sumberdaya alam, keragaman budaya, kearifan local, tatanan social politik dan system pemerintahan keadatan tua moronene-kabaena sudah terbentuk sejak masa itu.


Rumah Terapung Suku Sama-Bajau di Lawota (Lebota) - Elbert (1912:1)

Peta Kabaena
Onderafdeeling Buton and Laiwoi (1940-1952)
Sumber: Reproductiebedrijt topografische dienst, Batavia 1941

Jejak sejarah pemetaan pulau kabaena dengan kemajuan peradabannya telah ditunjukkan dalam peta Kabaena Onderafdeeling Buton and Laiwoi tahun 1941 yang menunjukkan telah dibangunnya infrastruktur jalan-jalan lingkar utama kabaena masa lampau yang menghubungkan pusat-pusat budaya, pemerintahan, pelabuhan (port), wilayah pendukung (hinterland) dan wilayah produksi (foreland) seperti jalur-jalur utama Sikeli-Teomokole-Olondoro, Sikeli-Tanjung Melati-Tedubara, Teomokoloe-Tangkeno-Enano, Tedubara-Lengora-Dongkala, Rahadopi-Olondoro-Batuawu-Pongkalaero dan transportasi laut yang menghubungkan Kabaena-Buton-Rumbia-Polea-Makassar-Selayar-Flores-Ternate-Ambon sebagai bagian dalam jalur pelayaran sabuk nusantara. Pentingnya pemetaan pulau-pulau nusantara dan jalur laut perdagangan yang dilewati oleh pemerintahan hindia belanda seperti selayar dan buton serta kepulauan sekitarnya karena seringkali menjadi persinggahan sementara armada dagang bila cuaca sedang buruk dimana Menurut B Schrieke, pada masa itu, kapal-kapal yang memuat barang dagangan pada musim timur berlayar melewati Sumatra (Sumatera), Borneo (Kalimantan), Patani, dan Siam; sedangkan pada musim barat, kapal-kapal tersebut berlayar melewati Bantam, Bali, Bima, Timor, Alor, Selayar, Buton, Maluku, dan Mindanao (1960: 20).
Pemetaan Kabaena secara detail dalam peta Onderafdeeling Buton and Laiwoi tahun 1941 oleh pemerintah hindia belanda karena posisi dan wilayah cukup penting kedudukannya, diduga terkait dengan posisi kabaena yang berada dijalur lalulintas pelayaran niaga dan militer antara Sulawesi selatan dengan Sulawesi tenggara dan Maluku, serta antara jawa dengan Maluku. Pulau kabaena dapat menjadi tempat transit bagi kapal yang terhalang ombak, tempat mengintai keamanan pelayaran yang lewat disekitar laut kabaena. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa selain karena factor politik, indicator potensi sumber daya alam (SDA) geomorfologi tambang atau potensi ekonomi yang prospektif menyebabkan wilayah ini menjadi perhatian khusus.

3)         Adat Istiadat Masyarakat Kabaena
Ciri khas budaya masyarakat Moronene, yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya adalah masyarakat yang peramah, mudah menghormati yang tua, suka menjalin persahabatan sarat dengan muatan nilai-nilai moral dan agama yang tinggi. Beberapa istilah yang biasa digunakan terkait dengan kesopansantunan yakni Ampadea (berlaku sopan), Tabea (ucapan ketika lewat di depan orang), Paramisi (ucapan apabila mau pulang usai bertamu), Moantani/Mompanga (menyuguhkan sirih pinang apabila ada yang bertamu dirumah), Konianto’u (sifat terpuji, seperti jujur, rajin, dan tekun mengerjakan suatu pekerjaan), Metokia (menjalin persahabatan antara dua orang yang baru, Metanduale artinya bersumpah turun-temurun, berasal dari kata Tunda Leele yang artinya Tunda (sumpah) dan Leele (turun-temurun). Adat istiadat orang Moronene-Tokotua (Kabaena) tercermin pada pelaksanaan urusan upacara peminangan dan perkawinan, kelahiran dan kematian, pesta tahunan, pembinaan kerukunan dan kesejahteraan masyarakat, tata pergaulan dan lain-lain. Kesemua itu dilakukan dengan menggunakan suatu benda yang terdiri dari seperangkat alat perlengkapan berupa “simbol adat”yang dijunjung tinggi oleh masyarakat pendukungnya yang diambil dan dikembangkan dengan menghilangkan unsur syirik, anismisme dan menonjolkan pesan moral serta keagamaan sebagai ciri khas masyarakat kabaena yang agamis.

a)         Adat Perkawinan
Adapun tahapan pernikahan yang diatur dalam hukum adat kesukuan Moronene Kabaena adalah sebagai berikut:
  1. Mongapi atau Modioninyapi/Podioha Ninyapi (peminangan/lamaran): Tahapan ini adalah prosesi lamaran bagi mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita. Dalam proses adat ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu modio hartia (penyampaian maksud), petado’a (menentuan waktu), Pongapi’a (lamaran) dan Petarima’a (Menunggu hasil).
  2. Pontangkia dan Pompetukanahia (Pengantaran seserahan dan Penanyaan kesediaan calon pengantin wanita). Didalamnya terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu petado’a(Penentuan waktu untuk membawa perlengkapan adat perkawinan), montangki’a (membawa perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan untuk pompetukanai’a dalam hal ini lauk-pauk, dsb), Mompetukanai (menanyakan kesediaan calon pengantin wanita untuk menjadi calon istri) dan terakhir Totolea (meminta beban yang akan dia pikul untuk dibawa dalam acara kawinan dalam hal ini mahar, dsb).
  3. Kawi’a (KaVi’a) adalah proses pernikahan. didalamnya terdiri dari Morongo kompe/Mompinda Raha (mengantar seserahan dan masuk dalam rumah pengantin perempuan), Tunduako Langa (persembahan adat ditengah-tengah peserta musyawarah adat), Meantani/Montunu Peahua(membakar rokok yang dilakukan oleh mempelai wanita untuk mempelai pria) dan yang terakhir adalah akad nikah
  4. Molangarako yaitu kedua pasangan pengantin diiringi arak-arakan keluarga menuju rumah pengantin pria. 
  5. Mohuletako Alo (setelah 3 hari 3 malam dirumah orang tua pria, kedua pasangan pengantin ini kembali ke rumah orang tua pengantin wanita).
Perlengkapan yang dibawa pada proses-proses tersebut adalah : 
  1. Mongapi atau Modio ninyapi = Pinca (piring), Rebite (daun sirih), Tagambere (gambir), dan Ahu (tembakau).
  2. Pompetukanahi’a dan Pontangki’a = Nilapa (ikan salad yang dibungkus pelepah pisang), Punti (pisang), Towu/ToVu (tebu), Ni’i Mongura (kelapa muda), Gola (gula merah), Tagambere(gambir), wua/Vua (pinang), Rebite (sirih), Kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), dan Duku (nyiru).
  3. KaVi’a /Kawia Karambau (Kerbau), Sawu (sarung), Kaci (kain putih) dan empe (tikar yang terbuat dari daun pandan). 
  4. Molangarako = Kaci (kain putih), Inisa (beras), Nohu (lesung), Pali (kampak) dan Soronga (peti).
 
Serangkaian Acara Adat Upacara Perkawinan di kabaena antara lain :
1)         Metiwawa
Adati Metiwawa artinya mengantar pengantin wanita kerumah pengantin pria, caranya orang tua dan kerabat pengantin wanita beserta undangan lainnya, mengantar pengantin wanita dengan berjalan menuju rumah pengantin pria tempat dilaksanakan pesta perkawinan. Pengantin wanita dan rombongannya itu akan singgah beristrahat sejenak di panggung yang telah disiapkan yang disebut patende untuk menunggu pelaksanaan acara molongko tinaniwawa (mengundang pengantin wanita). Sedangkan metarima artinya menunggu kedatangan pengantin wanita yang ditandai dengan diadakannya berbagai kegiatan, antara lain: pesta perkawinan.

2)         Reantolea
Adati Reantolea diartikan sebagai penutupan atau pelepasan tugas tolea, setelah seluruh rangkaian acara adat perkawinan selesai. Selain itu juga dimaksudkan sebagai lambang ucapan terima kasih dari pihak keluarga pengantin pria atas bantuan juru bicara, yang telah melaksanakan dan memimpin semua acara adat dalam proses perkawinan. Adati reantolea bermakna sebagai satu tradisi yang merupakan seremoni penutupan rangkaian adat perkawinan kabaena yang dimulai dari Pongapia, pontangkia/pomprtukanaiha dan Lumanga. Setelah acara Lumanga di tutup dengan Reantolea, maksudnya adalah sebagai penyampaian secara adat bahwa tahapan adat perkawinan telah selesai.  Reantolea dilaksanakan dengan cara sebelum langa di bungkus kembali dan dirapikan maka Tolea (telangkai/duta adat/perwakilan pihak mempelai laki-laki) merentangkan kaki dihadapan Syara da Motu'a disaksikan oleh semua tokoh-tokoh adat, agama dan kedua belah pihak, seraya salah seorang yang duduk dalam acara adat mengambil sawu ntolea (sarung yang fungsinya sebagai simbol milik tolea yang ditempatkan diatas piring sandua langa). Tokoh adat mengucapkan kalimat pototonaari atau sumpah penguatan agar tolea tetap semangat dan jangan lengah dalam memberikan dan menuntun pihak laki-laki kelak yang akan menikah dengan ucapan:
Asa, orua, otolu opaa, hai co'o tolea hiu tangkio adati kida ari mopoe laro'u dakum teveihako'o, kida ari mopoe biri'u dakumo unsoako'o, kida ari mopoe rapa'u dakumo agoako'o, Kida ari ala mohalio miano kau da daa umo ala mobata, kida ari mebolo mpehi kau tatapu molinyasio, ka sauda'a lungkuhoako, ka sauda'a motaruako, kau sauda'a kukumbiako, sambaliakoni tarimamo di pekito'u sawu”.
(Dipundakmu tolea yang selalu membawa adat, seandainya dalam penyelenggaraan adat, jika merasa sakit hati saya sudah jernihkan, seandainya telingamu sakit karena kata-kata yang kasar saya sudah tutupkan, seandainya kepalamu sakit karena pikiran saya sudah obati.  Jikalau seandainya engkau kelak menjadi tolea lagi, semoga kesulitan-kesulitanmu hari ini, engkau akan rasa ringan, seandainya engkau berselimutkan onak dan duri maka dengan sendirinya akan tersapu bersihkan. Mudah-mudahan adat yang dijalankan ini bila ada terkalahkan engkau tidak akan tertimpa bala adat, tidak lumpuh, tidak tuli, tidak kena penyakit. Demikianlah dan terimalah sarung toleamu ini).
                   
3)         Mohuletako Alo
Mohuletako Alo diartikan kembali bermalam dirumah orang tua pengantin wanita, oleh kedua pengantin tersebut. Cara pelaksanaanya adalah setelah dua hari pesta perkawinan kedua pengantin baru tersebut akan pergi bermalam kerumah orang tua pengantin wanita selama dua hari. Kemudian mereka akan pulang kembali kerumah orang tua pengantin pria, mereka akan tinggal sementara didalam rumah orang tua pengantin pria sambil membuat rumah sendiri disekitar tempat tersebut (dekat rumah mertua). Mohuletako alo dimaksudkan juga sebagai simbol untuk mengharapkan bila ada langkah yg mungkin merupakan langkah kurang baik pada waktu dilaksanakan acara metiwawa (mengantar pengantin wanita) agar dapat mentawarkan atau menetralisir sehingga kedua pengantin baru itu terhindar dari bencana, bahaya atau sakit.

b)        Rumah Adat
Penataan kampung dimulai dari rumah. Rumah yang akan dibangun di Kabaena sejak zaman dahulu telah diatur tata keletakannya membentuk system tata ruang kawasan startegis dimana terbagi menjadi tiga strata (kelompok):
§   Rumah pertama yaitu rumah penjaga pada tiap sudut kampung, sehingga setiap ada tamu yang hendak berkunjung ke rumah tersebut harus melapor kepada penjaganya sebagai petugas keamanan.
§    Rumah kedua yaitu tempat tinggal para pegawai kerajaan yang melayani raja dan keluarganya bila hendak menghadiri suatu pertemuan atau kegiatan lainnya.
§     Rumah ketiga adalah rumah raja dan pejabat kerajaan. Dari penataan seperti itulah sehingga tercipta stabilitas keamanan yang baik.
Layout Desa Wisata Tangkeno


Rumah tinggal umumnya penduduk Kabaena disebut “Laica” sedangkan rumah adat kerajaan disebut “Raha”, rumah khas adat pertama untuk mokole yang dibangun  berbentuk panggung merupakan rumah di atas tiang dengan material kayu bayam dan cendana khas kabaena sebagai bahan dasarnya. Bentuk rumah ini segi empat dan atapnya berbentuk pelana terbuat dari sirap kayu, daun rumbia atau ijuk.  Atap dan dinding rumah setengahnya menyatu dan difungsikan sebagai penutup ruangan.  Pintu rumah berbentuk empat persegi dengan tangga bagian depan disebut “Raha-Dopi”.
  
Rumah Khas Kabaena di Tangkeno & Balo - Elbert (1912:44)

Struktur dan Bentuk Rumah Adat Kabaena

Beberapa bentuk struktur rumah adat di kabaena terdiri dari :
1.    Kampiri = rumah khas kabaena tidak memiliki banyak ruangan berlantai dua (pea) yang digunakan sebagai tempat menyimpan hasil panen, merupakan miniature seluruh bentuk rumah adat kamokolean.
2.       Laica Ngkoa (Istana) = rumah khusus yang digunakan untuk raja (mokole)
3.       Raha (Graha) = rumah khusus di bangun untuk tempat tinggal keluarga bangsawan dan pejabat kerajaan.
4.   Raha ‘Ea (Balai Adat) = balai adat tempat dewan syara da motu’a & limbo (perangkat kerajaan) melakukan musyawarah & penobatan mokole (pohombunia mokole)
5.    Olompu (Rumah Kebun) = rumah yang dibangun di ladang atau kebun oleh masyarakat kabaena sebagai tempat peristirahatan.
6.       Landa = rumah yang dibangun ditengah atau dipinggir kebun atau bagian penghubung (selasar) rumah utama dan dapur. Rumah ini tidak ditinggali hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan dan pengolahan hasil pertanian, bentuk bangunannya berbentuk panggung tidak memiliki dinding.
7.      Bantea = rumah yang dibangun untuk pengolahan hasil pertanian sampai dengan selesai selama proses panen, memiliki dinding dapat digunakan sebagai tempat peristirahatan antara lain ; Bantea Ponahua Gola, Bantea Mpogurua (Rumah Belajar).

Dalam hal penataan wilayah Kabaena juga telah memiliki rencana struktur ruang yang telah maju hal tersebut terlihat pada sistem penetapan lokasi dan fungsi ruang wilayah yang disusun menjadi 3 tingkatan:
1.       Tidano Wonua (Batas Wilayah Kota/Desa/Dusun).
2.       Wambano Wonua (Gerbang Kota/Desa).
Dimasa lampau Wambano Wonua dibangun benteng-benteng kecil di atas bukit yg mengelilingi kota, sekarang gerbang kota/desa dibangun berupa pintu gerbang.
3.       Gode-Gode (Rumah Peristrahatan).
Gode-gode adalah bangunan yang dibuat di tengah kota berfungsi sebagai rumah peristrahatan, biasa digunakan tempat kumpul bersama melakukan ronda kampung atau pada saat hendak ke pasar menjadi tempat berkumpul masyarakat untuk membawa barang dagangannya ecara bersama-sama menuju daoa/tadoha (pasar).

Tradisi dan budaya masyarakat kabaena masa lampau tentang penataan wilayah yang lainnya adalah ketika penduduk sudah berkembang atau ada pendatang baru yang hendak tinggal di kabaena maka mereka meminta izin pada mokole, dimana mokole akan menunjukkan suatu tempat Valaka/Kampo/Kaindea sebagai lokasi domisili baru bagi orang dan masyarakat tersebut berikut anak turunannya, sebelum mendiami tempat tersebut mereka harus menghadap kepada Waka-Kaa atau dewan syara keadatan kabaena, maksud dan tujuannya adalah untuk menjelaskan kepada mereka tentang aturan hidup dan adat istiadat yang berlaku dan wajib dilaksanakan serta ditaati sebagai penduduk pulau kabaena.

c)         Benteng “Fort Kabaena
Benteng adalah bangunan untuk keperluan militer yang dibuat untuk keperluan pertahanan sewaktu dalam peperangan. Benteng sudah dibangun oleh umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu dalam berbagai bentuk dan pada akhirnya berkembang menjadi bentuk yang sangat kompleks. Fungsinya yang vital untuk menjaga keselamatan rakyat dari ancaman musuh. Seperti halnya kompleks dan jaringan benteng Fort Kabaena merupakan pusat pertahanan, perlindungan, pemerintahan dan agama.
Peradaban Kabaena di era kejayaan kamokolean dikenal memiliki kemampuan militer yang tangguh dibawah panglima perang Tamalaki , terutama pada era Warlord Sapati Manjawari (Opu Rampagau) yang pengabarannya telah disampaikan secara turun temurun dalam Epos Kada-Hikayat 3 Kesatria tentang penaklukan pasukan bajak laut tobelo – Labolontio, Hikayat Buton dan Lontarak Selayar . Salah satu peninggalan di masa kamokolean ini adalah benteng-benteng pertahanan. Kemegahan struktur benteng-benteng peninggalan peradaban di abad-16 itu ada yang masih berdiri kokoh serta ada pula yang telah musnah. Seiring berkembangnya peradaban masyarakat Kabaena, benteng pertahanan mulai dibangun. Hal ini terjadi karena adanya perkembangan militer di dunia pada masa-masa penaklukan, kolonialisasi dan imperialisme. Selain itu, pada masa tersebut banyaknya perang di berbagai wilayah mendorong terjadinya pertukaran gagasan antara negara dan kerajaan-kerajaan di dunia dalam strategi militer.
Sejarah pembangunan benteng di kabaena dimulai sejak awal abad 15 karena ekspansi kerajaan-kerajaan di nusantara dan ambisi untuk memperluas wilayah dan pengaruhnya serta adanya gangguan perompak bajak laut maka untuk menjamin keselamatan penduduknya, dengan makin gencarnya serangan bajak laut, Dewan Syara Da Motu’a Day Rahadopi bersepakat memberikan nasihat/pertimbangan kepada Mokole Sugilara (Abad XIV) di E’e Mpu’u untuk mengusulkan dibuat benteng pertahanan dan menambah kekuatan angkatan perang dengan mengangkat seorang panglima tamalaki yang kemudian dibeli Gelar Lampi O’O. Dengan berbagai macam pertimbangan dan atas petunjuk dari Tuhan Penguasa Alam (Yo Apu) oleh Mokole menunjuk lokasi  di daerah Kampung Enano Tua,yang bertempat di pinggiran Desa Tangkeno sekarang untuk membangun benteng dan  diperintahkan kepada semua kepala Negeri (Pu’u Tobu) agar di tiap-tiap negeri masing–masing di buat satu benteng pertahanan. Benteng pertahanan yang akan di bangun itu, bukan dalam bentuk parit, atau pagar kayu, tetapi merupakan susunan batu yang di bentuk sedemikian rupa menjadi sejenis bangunan. Benteng itu dibuat dalam hikayat disebutkan merupakan petunjuk saat  “Merere” (bersemedi) yang di sampaikan oleh penguasa bumi penjaga keamanan Pulau Kabaena yang kepercayaan orang-orang Kabaena disebut “Bau Lele Limba Basa Lele Molio”Dalam tahap awal pembangunan benteng ini Mokole Sugilara wafat kemudian diberi Gelar  Sangia Ventumo dan benteng yang dibangun tersebut dinamakan Benteng Ventumo. Untuk melanjutkan tata pemerintahan dewan syara menunjuk dan menobatkan Hendi Karama  (Abad XVI) sebagai Mokole selanjutnya. Pahombunia (penobatan) Mokole di laksanakan dalam area Benteng di lokasi tengah Benteng yang sementara dibangun Hendi Karama selanjutnya di Anugerahi Gelar Sangia Tawulaadi dan benteng yang dibangun dinamakan Benteng Tawulaadi.
Sesuai tujuan pembangunannya, benteng memiliki fungsi sebagai tempat pertahanan dan perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Dengan banyak dan beragamnya individu yang tinggal di dalam benteng, dinamika kehidupan menjadi kompleks. Bersamaan dengan itu, benteng tidak lagi menjadi simbol pertahanan tetapi juga menjadi pusat aktivitas dan interaksi sosial manusia. Berbagai macam kegiatan dilaksanakan bukan hanya terbatas pada aktivitas peperangan atau yang berkaitan dengan militer, melainkan juga dengan cabang kehidupan manusia lainnya termasuk aspek ekonomi dan budaya. Hal ini mempengaruhi fungsi benteng yang bukan lagi melambangkan institusi militer dan peperangan melainkan menjadi pusat kehidupan sosial dan akhirnya berkembang menjadi pusat administrasi dan pemerintahan.
Fungsi benteng antara lain :
§  Sebagai pusat pertahanan & perlindungan
§  Pos pengawas untuk memantau keadaan sekitarnya
§  Sebagai pusat kekuasaan lokal
§  Sebagai pusat pemerintahan
§  Pusat kebudayaan dan seni;
§  Kepentingan kegiatan adat
§  Tempat pelantikan raja
§  Penyimpanan koleksi prasejarah, numismatic, sejarah, naskah dan etnografi
Koleksi etnografi terdiri dari berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Tokotua.

Sebagai bangunan sejarah, benteng ini merupakan bukti nyata kisah panjang peradaban yang pernah ada di bumi kabaena. Selain itu, benteng ini juga menjadi saksi bisu sejarah panjang pulau kabaena. Secara umum, fungsi sebuah benteng dapat diketahui berdasarkan jenis atau bentuk serta skala atau luas bangunan benteng. Beberapa jenis benteng itu antara lain :
1.        Pagger: merupakan bentuk sederhana sebuah benteng yang hanya dilengkapi dengan pagar kayu keliling;
2.      Battery/beukery: bangunan pertahanan kecil yang berdiri sendiri untuk menempatkan sejumlah meriam atau senjata, pada umumnya berbentuk setengah lingkaran dan persegi empat dengan ukuran ± 4 x 4 meter dengan tinggi 4 meter;
4)      Redoute: kubu pertahanan yang berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan battery, yaitu ± 8 hingga 10 meter, berbentuk persegi untuk menempatkan meriam. umumnya memiliki ukuran dan luas bangunan yang kecil berfungsi sebagai pos pengawas Jenis ini dapat dikembangkan menjadi benteng yang lengkap.
5)     Pillbox ; Suatu bangunan pertahanan yang berfungsi sebagai pos jaga dan terbuat dari beton. Biasanya dilengkapi dengan lubang seperti jendela kecil untuk menembak. Bentuknya ada yang heksagonal, segi empat, silinder, dan zigzag.
6)    Blokhuis: bangunan yang pada awalnya lebih difungsikan sebagai gudang, pada umumnya berbentuk persegi, terbuat dari kayu, dan batu atau beton. Kemudian, dapat dikembangkan sebagai benteng lengkap dengan adanya bastion, yang berfungsi sebagai pos pertahanan;
7)   Klein Fort: bangunan pertahanan, umumnya berbentuk persegi, memiliki bastion (sudut yang menjorok keluar, berbentuk segitiga atau melingkar). Jenis ini memiliki ukuran lebih besar dibanding redoute, dan memiliki berbagai bangunan yang difungsikan sebagai kantor, maupun gudang. Namun, jenis ini lebih mengutamakan fungsi pertahanan dengan adanya bastion.
8)      Groote forten/Kasteelen: bangunan pertahanan, umumnya berbentuk persegi atau bulat. Jenis ini berukuran lebih besar dibanding klein fort, dengan berbagai fasilitas di dalamnya, seperti kantor, barak militer, gereja, rumah sakit dan tempat tinggal. Jenis ini pada umumnya merupakan embrio sebuah kota.

Struktur Ruang Benteng :
§  Halaman pelataran; tempat persiapan pasukan atau apel/upacara
§  Pintu Masuk
§  Bastion; Bentuk tembok benteng berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang disebut seleka.
§  Tempat menempatkan senjata
§  Pos Pengawas (bilik intai) 
§  Tempat menerima tamu 
§  Wisma tamu
§  Barak
§  Ruang tahanan
§  Kantor

Aspek pola sebaran dan faktor-faktor yang mendukung terbentuknya jaringan perbentengan yang ada di wilayah pulau Kabaena dengan memperhatikan titik lokasi, bentuk/jenis, serta fungsi benteng, peran wilayah dan hubungan antar wilayah.

Lokasi geografis benteng di pusat pemerintahan Tangkeno menempatkan posisi benteng sangat strategis karena dapat memantau selatan, barat, utara dan timur Pulau Kabaena. Arah utara lokasi benteng adalah selat kabaena berbatasan dengan daratan Sulawesi Bambaea, arah selatan adalah laut flores terdapat Pulau Lombok; sementara itu, arah barat adalah teluk bone terdapat pulau selayar dan wilayah bone kemudian arah timur adalah selat muna berhadapan dengan pulau muna dan buton. Secara geografis lokasi benteng fort tangkeno; tuntuntari sebagai benteng perlindungan berada diatas perbukitan dengan ketinggian ± 720 mdpl dengan jarak ±15 km dari pantai barat, ±20 km dari pantai utara, ±14 km dari pantai timur dan ±15 km dari arah pantai selatan kabaena. Benteng lain yang berada di sekitar desa Tangkeno terletak di ketinggian tebing bukit lebih rendah dari fort tangkeno berfungsi sebagai benteng pertanahan pusat pemerintahan. Struktur pondasi di bagian tebing dibuat sebagai tanggul atau penahan struktur tanah yang ada di bagian atas menunjukkan bahwa bangunannya merupakan Redout atau benteng kecil sebagai pos pengawas dan pertahanan wilayah. Benteng Tawulagi, Tondowatu, Efolangka dan Doule berada di sisi luar desa, lokasi benteng juga relatif dekat dengan benteng Tuntuntari yang memiliki skala ukuran yang lebih besar. Posisi benteng-benteng ini juga berada pada kontur yang lebih rendah dari Benteng Tuntuntari sehingga memungkinkan untuk mengirim informasi berupa tanda-tanda khusus kepada petugas jaga yang ada.

Benteng lain terletak diatas perbukitan desa-desa disekitar wilayah pulau kabaena membentuk suatu jaringan system pertahanan yg telah maju, posisi geografis ini memungkinkan pemantauan diseluruh wilayah perairan dan pantai pulau kabaena yang ramai dilewati kapal-kapal dagang sebagai hub perlayaran dan perdagangan antara wilayah barat dan timur nusantara, secara geografis keletakan jaringan system benteng tersebut pada sisi selatan terdapat benteng Liyano di pongkalaero & benteng Loiya/Bontoa Wavi di batuawu yang merupakan wilayah pertahanan dari ancaman pada jalur masuk yang ada di sebelah selatan melalui laut flores, pada sisi barat terdapat benteng watupalangga di teomokole, watu langkema di olondoro, benteng matarapa dan olongkontara di tirongkotua yang merupakan wilayah pertahanan disepanjang jalur masuk yang ada di sebelah barat melalui teluk bone, pada sisi utara terdapat benteng karambau di desa tedubara yang merupakan wilayah pertahanan dijalur masuk yang ada di sebelah utara melalui selat kabaena sementara sisi timur terdapat benteng buro/watumponu di manuru-ulungkura yang merupakan wilayah pertahanan terhadap ancaman yang masuk dari sebelah timur perairan selat muna dimana terdapat jalur gugusan pulau muna dan buton.
  
Peta Sebaran Benteng di Pulau Kabaena
Benteng Tuntuntari-Tawulagi-Loiya-Matarapa

Jika mengamati posisi geografis masing-masing benteng di pulau kabaena tampak jelas bahwa jaringan perbentengan ini dibangun untuk mengawasi perairan sekitarnya. Demikian halnya, keletakannya. Sebaran benteng di pulau kabaena adalah sebagai berikut :
  
Tabel 6. Sebaran Benteng di Pulau Kabaena
No
Nama Benteng
Lokasi
Kondisi Benteng
Jenis
1
Benteng Tuntuntari
Desa Tangkeno
Relatif Utuh
Klein Fort
2
Benteng Tawulaagi
Desa Tangkeno
Relatif Utuh
Redoute
3
Benteng Ewolangka
Desa Tangkeno
Tinggal Puing
Redoute
4
Benteng Tondowatu
Desa Tangkeno
Tinggal Puing
Redoute
5
Benteng Doule
Desa Tangkeno
Tinggal Puing
Redoute
6
Benteng Matarapa
Desa Tirongkotua
Struktur Lepas
Redoute
7
Benteng Olongkontara
Desa Tirongkotua
Tinggal Puing
Redoute
8
Benteng Buro & Watumponu
Desa Ulungkura
Tinggal Puing
Redoute
9
Benteng Lo Iya/Bontoa Wavi
Desa Batuawu
Struktur Lepas
Redoute
10
Benteng Watu Langkema
Kampung Olondoro
Tinggal Puing
Redoute
11
Benteng Karambau
Desa Tedubara
Tinggal Puing
Redoute
12
Benteng Liyano
Desa Pongkalaero
Tinggal Puing
Redoute
13
Benteng Watupalangga
Desa Teomokole
Tinggal Puing
Redoute
14
Benteng Lomiu Ano E'e
Kabaena
Tinggal Puing
Battery/beukery
15
Benteng Olo E'e
Kabaena
Tinggal Puing
Battery/beukery

Dengan demikian, dapat disimpulkan tentang faktor-faktor utama yang menjelaskan terbentuknya jaringan system pertahanan benteng di wilayah kamokolean Kabaena.
1.    Pertama, faktor geografis dimana wilayah ini merupakan daerah kepulauan. Kondisi ini mengharuskan suku kabaena untuk menjaga wilayah dengan mendirikan benteng di setiap sisi pulau di wilayah ini karena terletak dijalur utama perdagangan rempah-rempah nusantara yang melalui laut flores dan laut banda serta teluk bone dan selat muna sebagai jalur persinggahan armada dagang rentan serangan dari luar.
2.    Kedua, kondisi keamanan dimana dalam periode perdagangan rempah-rempah di wilayah nusantara dimasa lalu terjadi persaingan yang kompleks tidak hanya diantara pihak penguasa lokal, tetapi juga diantara sesama banga Eropa mempengaruhi kondisi keamanan pulau dan jalur laut perdagangan yang dilewati.
3.  Ketiga, terbentuknya jaringan perbentengan ini bertujuan untuk mendukung sistem pertahanan dan tata niaga perdagangan di wilayah kabaena. Titik-titik lokasi keberadaan benteng dibangun dekat dengan sumber-sumber produksi, sehingga benteng-benteng tersebut sekaligus berfungsi sebagai pusat-pusat pengumpul komoditi yang diproduksi di daerah sekitar.
4.  Keempat, pendirian benteng di daerah-daerah produksi sekaligus dimaksudkan sebagai pos pengawasan terhadap wilayah sekitarnya. Pengawasan terhadap wilayah-wilayah ini penting dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan. Dalam hal ini, benteng yang ditempatkan di setiap titik pulau berfungsi sebagai pos pengawasan yaitu pengawasan terhadap kondisi keamanan, tata niaga, serta pengawasan terhadap kondisi masyarakat.


d)        Struktur Adat Kamokole’a
Tabel 7. Silsilah Raja-Raja Kabaena
No
Mokole
Gelar
Suami/Permaisuri/Anak
Ibukota/Masa Pemerintahan
1
Mokole Dendeangi
Tongki Pu’u  Wonua Tamano Moronene
Morimpopo/Luku Berese
720-Abad VIII
2
Mokole Luku Berese
Mokole Moronene
Lele Wulaa/Nungkulangi
IX
3
Mokole Nungkulangi
Mokole Moronene
Manuasa/Ntina Sio Ropa,Ririsao (Entoluwu),Indaulu (Waluea)
X

Mokole Day Tangkeno
4
Mokole Indaulu
Da Tetambe Wulee   Waru
Indau Labelengalu Glr. Da Tebota Tulanggadi/Intama Ate,Walu- Ama
E’e Mpuu/XI
5
Mokole Intama Ate
Mokole Kotua
Sanggoela
XII
6
Mokole Maligana
Rangka Ea,Dg. Masarolabbi
Inyolu Glr. Waipode Wumbulere/Sugilara,Manjawari,Sarikumala
XIII
7
Mokole Sugilara
Sangia Lawu/Wentumo
Waypode Sangai/Hendy Bara,Hendy Karama
XIV
8
Mokole Manjawari
La Pati, Opu Rampagau
Waykarama/Lamaindo,Lasomba(Mahady),Lahady,Lawady,Dandy
XVI
9
Mokole Hendy Karama
Sangia Tawulagi
Tawulagi
XVI
10
Mokole Hendy Bara
Sangia Wulu O’o
Wulu O’o
XVI
11
Mokole Mahady
La Somba Sangia  Tuntuntari
Naulu/Ambara
XVI
12
Mokole Lahady
Sangia Poo Rempe
Nawula/Wadurani,Batahe,Wakunsi
XVII
13
Mokole Dandy
Sangia Wentumo
Hulurahy/Tama’ea
XVII
14
Mokole Ambara
Sangia  Tuntuntari
Ramla/Intalawatu
XVII
15
Mokole Wadurani
Sangia Bolonangka, Intataha
Rimaasa/Lanota,Napode,Pusu,Naate
XVII
16
Mokole Batahe
Sangia Tongalere
Intuay/Pokuru,Lohiya,Tumansa,Rambu,Manangkiri (day olongkontara)
Bontila/1664-1727
17
Mokole Lanota
Day Bolonangka
-/Tandu    (radiman bin haradi bin serewu)
Tangkeno/1727-1781

Mokole Day Kotua
1
Mokole Pokuru
Day Tongalere, Insusura
Pusu,Moume (trah sangia raromponda-mokole poleang) /Camara,Jamaluddin,Intawu,Kole-kole,Abdu,Incolu,Hadeena,Masia,Tima,Maheasa,Bina,Maesara,Paate
Sudu-Sudu/1781-1825
2
Mokole H. Camara
Day Poo Bane
H.Sulaeman,H.Muh.Hasan,Taagududah
XIX
3
Mokole Umara
Day Carambau/Poumeti
Hadeena
XIX
4
Mokole H. Jamaluddin
Day Rapa Masigi

XIX
5
Mokole H. Muh. Yasin
Day Pu’u Roda
Ulentiy/St.Fatimah,Anisi,Tokudiha,Jamalu,Rukaiya,Malihi,Arfin,Poudo,Toku,Muh.Tahir,Dullah,Tahulu
1880-1885
6
Mokole H. Muh. Yasir
Day Salama Olaro Mbue Olondoro

XIX
7
Mokole H. Abdullah
Day Bontila

1885-1887
8
Mokole H. Muh. Natsir
Day Watekule

XX
9
Mokole H. Muh. Hasan
Day Pedoomi
Sahaba, H. Ishak,Montia,Naba
XX
10
Mokole H. Muh. Yasin
Day Pu’uroda

1910-1916
11
Mokole H. Muh. Arsyad
Mbue Ntama Day Bontila

XX
12
Mokole H. Abd. Mukti
Day Entotoosi
Imbeu,Hadaria,Zubaidah,Abd.Rasyid Mukti
1916-1929
13
Mokole/Distrik H. Jamaluddin
Day Olondoro, Mbue Ntama Motua
Distrik-I Kabaena
1929-1935
14
Mokole/Distrik H. Muh. Said
Sulewatang, Day Carambau

XX
15
Mokole/Distrik H. Muh. Ali
Day Dama

1935-1941
16
Mokole/Distrik H. Abdurrahim
Day Raha/Boba

1941-1954
17
Mokole/Distrik Abd. Muis
Mbue Ntama

1955-1959

Mokole Day Lengora
1
Mokole La Boli
Mokole Lengora
Era Distrik-I Kabaena

2
Mokole Maradi
Mokole Lengora Ke-IX


3
Mokole Ma-Ali
Mokole Lengora Ke-X


4
Mokole Masoro
Mokole Lengora Ke-XI






 (a) Perwakilan Kesultanan Buton Bersama Mokole Kabaena H. Abd. Mukti & Pauno Rumbia Ultah Ratu Belanda Wilhelmina di Makassar (1923)-(b) Mokole H. Jamaluddin, Pauno Rumbia & Syara Limbo Pelantikan Sultan Buton (1932)-(c) Pelantikan Mokole H.Muh Ali di Batuawu (1937)
Struktur pemerintahan kamokolean kabaena :
1.         Syara Da Motu’a
Merupakan Lembaga Adat Perwakilan Rakyat yang bertugas:
-          Menyeleksi dan menyaring Anakia untuk dicalonkan jadi Mokole
-          Memilih, menobatkan, dan memakzulkan Mokole
-          Menimbang dan memutuskan bagian-bagian tanah ulayat yang dimiliki oleh masing-masing Anakia
-          Memberi pertimbangan pada Mokole dalam hal tata pemerintahan, pernyataan perang dan keputusan adat istiadat.
-          Menyusun dan menferifikasi silsilah dan nasab
2.         Anakia
Kelompok turunan mokole yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
-          Anakia Motaha ; ayah dan ibunya adalah keturunan mokole secara langsung yang berhak atas takhta dan mahkota.
-          Anakia Sabo ; yang tidak berhak atas mahkota dan takhta tetapi berhak duduk dalam pemerintahan disebabkan karena salah satu dari ayah dan ibunya bukan keturunan mokole.
3.         Mokole
Merupakan kepala Negara yang bertugas menjalankan adat dan mengatur tata pemerintahan dibantu oleh pejabat tinggi kamokolea, yaitu :
a.   Sekretaris kerajaan sebagai pejabat yang berwenang mengatur sistem administrasi kerajaan juga merangkap sebagai juru tulis dan juru bahasa.
b.         Mangkuta Ala (perdana menteri )
Membawahi :
§   Kapala  (Puu Tobu) ,
      Pejabat tertinggi masing-masing kampung yang melaksanakan fungsi kepala adat Da Rapaiho Adati, mengelola tata pemerintahan dalam kampung Tobu serta melaksanakan fungsi yudikatif sebagai pengadilan tingkat pertama sebelum banding yang di ajukan pada Tuankali.
§   Pabitara
Sebagai juru bicara yang bertanggung jawab kepada Mangkuta Ala yakni sabda Raja setelah diumumkan harus di laporkan kepada Mangkuta Ala setelah di sampaikan secara resmi di “Laica Tompunani Sumpa Tumpua Lele” rumah khusus di samping istana yang juga berfungsi sebagai tempat menyambut tamu dan menabuh gendang tarian saat pesta.
§   Tolea
Berfungsi sebagai duta adat, baik sebagai utusan untuk urusan negara maupun dalam urusan perkawinan. Tolea beranggotakan, Potulu, pengacara urusan protokoler, Sara da Motu’a totoro’a Adati, orang yang ahli dalam bidang adat. Da Rapaiho Sara, perwakilan kerapatan adat yang terkecil dalam satu kampung dan Da Rapaiho Adati kepala adat.
§   Kapita
Pejabat negara sebagai sahbandar dan kepala pajak.
§   Palima-limano Mokole yakni perangkat protokoler istana.
§   Bisa
Sebagai tabib istana juga penyelenggara seremoni adat.
c.         Tuankali
Sebagai lembaga yudikatif yang terdiri dari Yarona, pu’uno Adati/limbo mardica, hatibi, modi dan doda
d.         Tamalaki
Panglima perang yang membawahi pasukan perang seperti Lampio’o (pasukan pengawal) dan Toria Ngkapa (penjaga pantai).
                                                                                                        

Bentuk Mahkota & Duba (Pakaian) Pegawai-Pejabat Adat Kamokole’a

Sistem Penamaan dan Gelar Mokole
Penggunaan Gelar Mokole atau Raja yang sedang berkuasa bagi masyarakat Moronene Tokotu'a-Kabaena, telah diatur bagi yang dimandatkan untuk menjadi Mokole hanya dengan menisbatkan "Gelar Mbue Ntama Day", Sebab dalam sistem Kamokolean-Tokotu'a-Kabaena ada 3 negeri-kampung yang oleh adat sejak zaman dahulu hingga kini tabu untuk memanggil Apua kepada Mokole lebih-lebih pada golongan Anakia (Na Opali Ki Te O'apua Hai Mokole kola-kolalopo Hai Anakia).
Tiga negeri-kampung tersebut adalah :
1.   Da Motua day Balo (kampung Balo) ; Balo adalah daerah Istimewa dan otonom yang mempunyai kedudukan yang istimewa pula, baik diTangkeno, Lengora dan Kotu'a. 
2.    Da Motua day Rahadopi (kampung Rahadopi) ; Rahadopi merupakan daerah Istimewa karena sebagai dewan syara yang menobatkan Mokole dengan nama Limbo Mardica. 
3.     Da Motu'a day Enano (kampung Enano) ; Enano adalah ibu sesusuan La Pati Sangia Olonkontara Raja Kabaena sehingga Enano adalah saudara sesusuan para Anakia dan Mokole.

Penamaan kata Mokole juga tidak disandingkan dengan nama Raja yang berkuasa karena itu adalah jabatan. Jika menyebut Mokole maka di sandingkan dengan nama wilayah kerajaannya, misalnya Mbue Ntama day Pu'u Watu Mokole Tangkeno, Mbue Ntama day Bungku Watu Mokole Lengora, Mbue Ntama Entotosi Mokole Kotu'a.  Demikian pula Sangia tidak digunakan ketika Mokole masih hidup tapi Sangia adalah Gelar Anumerta, misalnya Mbue Ntama day Raha Sangia i Boba Dinisbatkan pada Mokole Kabaena Haji Abdurrahim yang wafat di Bau-Bau.

e)         Huruf dan Penanggalan Adat
Bilangari = sistem almanak kuno peradatan orang Moronene-Tokotua di Kedatuan/Kemokolean Bombana. Lazim disebut Bilangari To Moronene. Almanak bilangari berdasarkan perhitungan lunar, sistem penanggalan ini menggunakan papan matriks dengan 11 simbol utama dalam sembilan varian. Digunakan sehari-hari oleh orang Moronene hingga kini. Sistem penanggalan ini diciptakan dan dipakai pada tiga protektorat Kedatuan Bombana (Keuwia, Lembopari, dan To’Kotua), sejak abad ke-IX. 
 

f)          Desa Adat
Undang – undang tentang desa mengatur tentang lembaga adat desa. Keberadaan lembaga tersebut di desa adat menjadi bagian tersendiri dalam memberikan peran dan fungsinya dalam mengembangkan adat istiadat.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 95 :
1.        Pemerintah desa dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa.
2.      Lembaga adat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa.
3.   Lembaga adat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat desa.

Tabel 8. Tematik Desa Adat Kabaena
Tematik
Kampung/Desa/Kelurahan
Kecamatan
Keterangan
Desa Adat
Desa Tangkeno
Kabaena Tengah
Istana Tangkeno & Benteng
Desa Rahadopi
Kabaena
Raha, Dewan Syara
Desa Tirongkotua
Kabaena
Benteng
Desa Teomokole
Kabaena
Benteng
Kampung Olondoro
Kabaena
Istana Kotua & Benteng
Desa Lengora
Kabaena Tengah
Istana Lengora
Desa Enano
Kabaena Tengah
Dewan Syara
Desa Balo
Kabaena Timur
Dewan Syara
Desa Dongkala
Kabaena Timur
Astana Tapuhaka & Dewan Syara
Desa Rahantari
Kabaena Barat
Raha
Desa Tedubara
Kabaena Utara
Benteng
Desa Ulungkura
Kabaena Tengah
Benteng

Beberapa Kampung Tematik Adat Kabaena 


g)        Kegiatan Adat
Beberapa bentuk kegiatan adat yang sering dilaksanakan masyarakat kabaena :
1.         Adati Pe’olia
Proses adati Mo’oli dianggap sebagai upaya untuk mengusir roh jahat pada zaman dahulu kemudian seiring dengan pengetahuan masyarakat kabaena yang telah maju dengan syiar agama islam yang masuk lebih awal dibawa tokoh-tokoh islam kabaena dimana kegiatan adat mooli yang dikembangkan adalah dengan menghilangkan unsur animisme dengan lebih menonjolkan nilai moral dan budaya berupa rangkaian kegiatan adat  dengan doa bersama untuk mencegah hal-hal yang bisa saja mengganggu masyarakat dalam bercocok tanam.
2.         Adati Mewusoi
Prosesi adati mewusoi adalah doa permintaan secara berjamaah untuk memohon pada Yang Kuasa untuk melepas masa panen selama setahun. Selain itu, persiapan untuk menyambut musim tanam selanjutnya.
3.         Adati Mehedoi
Prosesi adati Mehedoi merupakan luapan kegembiraan atas terselenggaranya proses rangkaian kegiatan adat serta hasil panen yang dicapai masyarakat.
4.         Adati Me’antani
Prosesi adati Me’antani adalah tradisi makan sirih masyarakat Kabaena yang merupakan warisan budaya tempo dulu. Budaya me’antani atau makan sirih pada masyarakat Kabaena adalah tradisi untuk mengobati orang sakit, proses kegiatan meantani yang terdiri dari beberapa helai daun sirih dan daun tembakau adalah obat yang dihidangkan bersama gambir dan pinang sebagai obat agar pasien yang sedang sakit dapat disembuhkan. Secara tradisional, bila dilihat dari komposisi bahannya, Sirih berguna untuk membunuh kuman, antioksidan, dan anti jamur. Tak heran banyak yang menganggap menyirih berguna untuk mencegah gigi rusak atau keropos. Gambir berguna untuk mencegah bau mulut dan mencegah sariawan. Sedangkan biji pinang digunakan dalam ramuan untuk mengobati sakit disentri, diare berdarah, dan kudisan. Biji ini juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat pewarna merah dan bahan anyaman.
5.         Adati Mpesokei (Menghentikan)
Adati Mpesokei merupakan penyelesaian suatu perkara sosial melalui adab dan adat sebagai dasar hukum masyarakat kabaena tempo dulu, seperti halnya jika seseorang yang mengalami marah besar karena merasa dilecehkan atau dizalimi.  Bagi masyarakat ToKotu'a dimasa lalu, memiliki adab penyelesaian masalah khususnya yang berkaitan dengan emosi. Apabila seseorang merasa dilecehkan, tidak dihargai dan dihormati pihak lain yang sengaja atau tidak sengaja memancing kemarahan itu maka seseorang dalam unsur adat melempar sarung kepada orang yang marah. Seketika bila orang tersebut mengetahui soal adat, maka akan menghentikan amarahnya pertanda ia mau diatur atau didamaikan. Sebaliknya bila ia mengacuhkan sarung tersebut, maka orang tersebut secara sadar telah mengabaikan adat dan permintaan maaf dari si pembuat marah. Manakala ia mau di atur dan didamaikan, seketika itu juga adat mpesokei dijalankan yaitu seorang tolea atau utusan langsung menghadap ke orang tersebut untuk mengklarifikasi perihal yang memancing kemarahan dan menyampaikan permohonan maaf yang ditandai dengan penyerahan (bida/salampuri) atau kain kafan tenunan.

h)        Kesenian Tradisional
Beberapa jenis kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Kabaena sudah terlihat dari masa kamokolean (kerajaaan). Kesenian tersebut terbagi atas tiga seperti Seni sastra, Seni tari, Seni kerajinan
1.         Seni Sastra (Prosa)
a.         Tumburi’ou – (hikayat /dongeng)
Isi tumburi’ou menggambarkan asal mula kejadian dari unsur alam, juga menggambarkan sifat dan tingkah laku binatang yang baik dan yang buruk, yang dapat dicontoh oleh manusia. Misalnya: dongeng “Tongkimpu’u Wonua, Watuburi & Wesaori.
b.         Tula-tula (kisah)
Tula-tula menggambarkan lika-liku kehidupan seorang tokoh dalam masyarakat. Misalnya: “Da Tebota Tulanggadi & Wulele Waru” (kisah mokole pertama orang Kabaena) dan “Waka-Kaa” (kisah seorang Sangia Pertama Turuna Binta Sinangkobino Langi, Tinendeteno Wita yang melanjutkan babak dewan “Syara Da Motua” dalam system kamokole’a Kabaena).
c.         Kamokole’a (Silsilah)
Isi silsilah menggambarkan kisah kerajaaan dan nama-nama rajanya (mokole) yang disampaikan secara turun temurun dalam suatu acara atau kegiatan adat.
d.         Pe’oliwi (nasehat/amanah)
Isi pe’oliwi merupakan pesan-pesan leluhur yang menggambarkan ajaran moral, nasehat, dan petuah agama bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas.
e.         Pototonaari (sumpah penguatan)
Satu tradisi yang merupakan seremoni penutupan rangkaian adat perkawinan kabaena. Reantolea, tokoh adat mengucapkan kalimat pototonaari atau sumpah penguatan agar tolea tetap semangat dan jangan lengah dalam memberikan dan menuntun pihak laki-laki kelak yang akan menikah.
f.          Pogau (musyawarah dan mufakat)
Forum pertemuan adat yang disebut dengan istilah Sara. Masyarakat moronene tokotua mempunyai suatu falsafah hidup yang terpatri dalam kehidupannya, yakni “inai dako sara dahoo ntapinesara, inai dasai kosara dahoo ntanikasarai” atau “inai-naimo da mehawa’o wonua dahoo nta tumpaiho kabarakatino, inai-naimo da bungkuiho wonua, dahoo nta tumpaiho tuarano”.

i)          Seni Sastra (Puisi)
1.         Kada (Epos)
Kada merupakan syair kepahlawanan dalam masyarakat Moronene Tokotua. Pada masa lalu sering didendangkan atau dinyanyikan ketika ada acara-acara perkawinan, panen hasil ladang, dan hiburan bagi keluarga. Kada isinya berupa informasi tentang kesejarahan, kepahlawanan, dan adat istiadat, tidak terikat dengan jumlah baris tiap baitnya. Dalam penceritaan Kada hanya mengandalkan suara si pencerita, tapi dalam penyampaiannya si pencerita selalu menjaga keindahan Kada dengan memperhatikan panjang pendeknya kalimat, intonasi suara, dan kejelasan dalam pengucapan kata-kata sehingga pendengar tetap dapat mencerna dan mengerti apa yang disampaikan oleh sang pengkada. Dalam penyampaiannya si pencerita juga sering menambahkan ungkapan-ungkapan yang berulang di tengah atau akhir kalimat agar tercita irama yang sama yang disebut didimba.
2.         Mo’Ohohi (pantun/syair)
Isi ohohi berupa pantun yang syairnya dimemainkan untuk menceritakan kisah-kisah nyata yang telah lalu. Sebagai alat penguat penyampaian pesan yang lekat dengan nilai-nilai social masyarakat kabaena masa lalu.
3.         Mo’odulele (syair pekabaran)
Mo’odulele bersyair tentang kabar-kabar tertentu, isinya adalah ungkapan-ungkapan duka cita, kerinduan, dan kegembiraan, serta mempunyai ketentuan tiap bait terdiri dari tiga dan empat baris yang sambung menyambung.
4.         Tumburiou (Dongeng)
Tomburiou merupakan bentuk cerita tradisonal yang disampaikan secara turun temurun berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral (mendidik) dan juga menghibur. Seperti dongeng Putri Lungo & Watu Nohu di tepi sungai lakambula.
5.         dan Nantu 
Sumber : Kada Moronene, Elbert (1912:14)

j)          Seni Tari
1.         Tarian Lumense
Tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Tokotu’a. Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi atau lumense dari kata “ko lonso-lonso kaidaa e'ense” (melompat-lompat sembari bergoyang)Tari Lumense dilakukan dalam kegiatan adat pe-olia dari wawo sangia (kayangan)Kelompok penari lumense biasanya berjumlah 12 wanita muda Penari itu disebut wolia: enam berperan sebagai pemain putra, dan sisanya sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat Kabaena yang disebut “taicombo”, yang bagian bawah mirip ikan duyung. Khusus para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi.
Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual mengusir segala macam bencana, penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini mulai ditampilkan pada masa kamokolean dan acara adat nasional. Seiring dengan perkembangan pengetahuan masyarakat kabaena, fungsi tari Lumense kemudian digeser dari ritual menjadi tarian sebagai penggambaran tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena dengan corak produksi masyarakat bercocok tanam atau bertani, tarian ini juga melukiskan tentang masyarakat kabaena masih melakukan pola pertanian tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah. Pada masa kini tari Lumense dikembangkan menjadi bagian kegiatan adat upacara penyambutan dan pelepasan tamu yang mempunyai makna simbolis sebagai ungkapan doa bagi para tamu agar selamat dalam mengunjungi dan perjalanan pulang dari Pulau Kabaena. Doa tersebut diekspresikan dalam gerakan menebas pohon pisang sebagai simbol rintangan atau bahaya. 


2.         Tarian Lulo Alu
Awal mulanya tari lulo bersifat sakral, dilakukan dalam rangkaian pemujaan kepada Yang Kuasa terutama dewa padi (sanggoleo mbae) pada kepercayaan animisme masa lalu. Tari lulo awalnya dikaitkan dengan upacara untuk kesuburan. Tetapi seiring dengan perkembangannya, tari Lulo Alu atau morengku ini kemudian diubah dijadikan tarian rakyat atau tarian hiburan bagi petani yang sementara menumbuk padi untuk persiapan pesta panen. Tarian ini kemudian dikreasi dengan menggunakan pelepah rumbia, bambu atau batang kayu sebagai pengganti alu penumbuk lesung asli. Tarian ini dimainkan oleh 12 orang,  8 orang pemegang alu dan 4 orang penari. Tarian rakyat ini kemudian dijadikan rangkaian mengisi kegiatan adat dan penyambutan tamu. Kekompakan dan rasa kekerabatan juga menjadi komitmen dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional Kabaena. Hal itu disimbolkan dengan konfigurasi tarian massal lulo. 


3.         Tarian Momaani dan Mansa
-          Tarian momaani atau tari perang khas suku Moronene-Kabaena yang diiringi gong (randu) dan gendang (ganda). Sebuah tarian yang dibawakan oleh seseorang, dua orang, atau sekelompok orang dengan maksud menggambarkan semangat dan cara berperang dengan menggunakan tangan kosong atau senjata tradisional.
-          Mansa (Tarian Beladiri)
Mansa dikenal sebagai tarian beladiri tradisional kabaena, mansa membuat gerakan seperti tarian  yang dimainkan dengan diringi alat music. Pertunjukan mansa sering ditampilkan diacara adat festival atau perayaan hari besar nasional. 


4.         Tarian Lulo
Tarian Lulo merupakan salah satu tarian tradisional suku moronene-tokotua, tarian ini dapat dilakukan oleh pria, wanita, remaja dan anak-anak tidak dibatasi usia maupun golongan saling berpegangan tangan membentuk sebuah lingkaran yang diiringi oleh alat music pukul atau gendang. Tarian ini sering dilakukan saat acara adat seperti : pernikahan, pesta panen dan pelantikan raja merupakan simbolisasi masyarakat kabaena yang selalu bersatu, bekerjasama, tolong menolong dan bahu membahu. 

Tarian Lulo Kabaena– Elbert (1912:11)
5.         Tarian Motasu
Tari Motasu bagi masyarakat kabaena adalah tarian menanam dan memanen padi atau hasil pertanian dengan menggunakan tongkat, kompe dan sapeo menggambarkan tentang kehidupan petani kelompok masyarakat tradisional kabaena mengolah lahan pertanian saling tolong menolong dan kebersamaan ketika musim panen tiba.
Tarian Motasu-Medambu-Moduku

k)         Seni Kerajinan (Anyaman)
Suku Moronene Tokotua sejak dulu sudah memproduksi berbagai jenis seni kerajinan tangan. Kerajinan tangan yang sudah terlihat sejak zaman kerajaan sampai sekarang, ditandai dengan motif sulaman baju adat, baju mokole dan motif adat perkawinan. 

Kerajinan Khas Moronene - Elbert (1912:13&35)

Motif anyaman yang sampai saat ini masih biasa ditemui berupa kerajinan masyarakat kabaena seperti :
1.         Tandu Laica (bumbungan rumah)
2.         Kompe Niwulele (keranjang tempat sirih gadis)
3.         Ului Pongkotu (tangkai ani-ani)
4.         Karada (tombak untuk kerbau, rusa dan anoa)
5.         Kuro Wita (belanga dari tanah liat)
6.         Pohotea (belanga tanah liat ukuran besar)
7.         Langka
8.         Kompe (keranjang)
9.         Be’u (bakul)
10.     Kalea (keranjang  penangkap ikan)
11.     Empe (tikar)
12.     Boru
13.     Balao (payung dari daun pandan)
14.     Wonua Mpolulua (tempat rokok)
15.     Sapeo
16.     Tolimbu
17.     Kaloe
18.     Balase



l)          Seni Ukir
Masyarakat Kabaena mempunyai berbagai jenis ukiran yang terbuat dari kayu seperti wune, pintu, tiang & atap terlihat pada motif ukiran rumah adat tokotua masa lalu. Beragam kerajinan khas dari anyaman serta motif hiasan dari baju tradisional khas kabaena.

Ukiran Khas Moronene - Elbert (1912:31&38)

m)      Alat Musik
1.         Ore-ore
Ore-ore adalah alat music dari bambu, merupakan salah satu seni musik tradisional yang terdapat di pulau Kabaena. Alat musik tersebut terdiri dari bilah kayu, bambu dan buluh yang masing-masing memiliki nada sesuai not balok. Konon, ketika petani diwilyah itu ratusan tahun silam pulang ke rumah sembari menggendong keranjang yang isinya adalah hasil kebun, tidak lupa membawa sepotong buluh yang dijadikan tongkat. Suatu ketika, buluh yang dijadikan tongkat itu dipukul-pukulkan, terekah dan menimbulkan bunyi bernada. Dalam versi lain ore-ore merupakan suatu tradisi bagi petani untuk mempercepat berbuahnya jagung. Ketika jagung berusia 30-70 hari, oleh pemilik kebun melakukan ore-ore yaitu memukul-mukul pohon (batang) jagung sembari membacakan do’a. Setelah di ore-orekan tanaman jagung dalam usia tidak lebih dari 90 hari sudah dapat dipetik dan dijadikan makanan pangan. 


2.         Tawa-tawa dan Ndengu-dengu (Gendang Kulit)
Gendang tradisional yang mengiringi tarian-tarian khas kabaena. Gendang tersebut di buat dari kayu berlubang dengan diameter tertentu. Salah satu ujung lubang tersebut ditutup dengan kulit hewan yang sudah diawetkan. Bila ditabuh ahlinya ,bunyi gendang tersebut biasanya mampu menggerakkan penari. Musik pengiring tari ini berasal dari alat musik gendang dan gong besar yang disebut tawa-tawa dan gong kecil ndengu-ndengu. Pengiring musik berjumlah tiga orang penabuh alat musik yang ditabu oleh dua pemainnya dengan kedua tangannya untuk mengiringi Tari Lumense. Bunyi bunyian bernada yang digunakan pada upacara penyambutan tamu.
3.         Tamburu
Metamburu bagi masyarakat Moronene Tokotua-Kabaena berupa memainkan alat musik yang terbuat dari bamboo yang disebut sebagai Tamburu. Dimainkan oleh warga Kabaena ketika sementara menjaga padi di ladang atau dimainkan di rumah pada malam hari. Alat ini dimainkan sambil berdendang atau bertutur tentang perasaan maupun kondisi alam sekitar.
  
n)        Lagu Kabaena
1.       Kabaena Kampo Tangkeno
2.       Tokotu'a Wita da Okidi.
3.       Lakambula
4.       Tokotua Kampo I Lengora
5.       Kabaena Gunungnya Tinggi (La Tuheru 1930)
6.       Sagori
7.       Moronene Witaku
8.       Measa Witaku Da Moico

o)        Permainan Tradisional
Masyarakat kabaena biasa menggelar permainan di acara-acara festival kebudayaan, perayaan adat atau sengaja digelar sebagai ajang lomba tahunan seperti perayaan kemerdekaan dan ulang tahun kabupaten. Permainan tradisional yang sering dimainkan masyarakat kabaena antara lain :
1.         Mehule (Gasing)
2.         Kadauda
3.         Tica
4.         Enggo
5.         Tutumpena
6.         Elo
7.         Mebaguli
8.         Umanda/Vokeo
9.         Mompakani
10.     Mensede
11.     Mesicu/Cuke
12.     Ase


p)        Pakaian Adat
Dahulu, masyarakat suku moronene kabaena biasa membuat pakaian dari bahan kulit kayu yang disebut Duba. Pakaian ini dibuat dari kulit kayu yang kemudian direbus, direndam hingga lembut, dipukul-pukul sampai tipis melebar hingga didapatkan seratnya. Serat kain kulit kayu ini kemudian dijahit dan digunakan sebagai pakaian keseharian.
(a) Pakaian Perang Suku Moronene-(b) Pakaian Khas Kenepulu District Kabaena-(c) Taicombo Putri Kabaena; Elbert (1912:Tabel-III)-(d) Mahkota & Pusaka Kerajaan-(e) Koasi Ikat Kepala

Pakaian adat kabaena untuk perempuan memiliki nama Taicombo untuk atasan dilengkapi Roo untuk bawahan dan syal atau selendang sebagai pelengkap. Baju adat yang digunakan untuk atasan ini memiliki potongan panjang sampai melewati pinggang menyerupai ikan duyung sedangkan Roo bawahannya memiliki bentuk yang panjang sampai mata kaki. Terdapat ciri khas unik yaitu manik-manik dengan warna emas yang biasanya disusun di bagian depan baju atasan dan bawahannya, tentunya dengan corak khas suku moronene-tokotua. Untuk laki-laki memiliki design yang berbeda, yaitu Duba untuk nama pakaian atasan yang memiliki bentuk lengan panjang dan hiasan keemasan di beberapa sisi bajunya. Sedangkan bawahan untuk laki-laki adalah celana panjang yang diberi nama Sala. Terdapat hiasan tambahan yang biasanya digunakan untuk melengkapi pakaian adat kabaena. Pakaian wanita biasanya dilengkapi dengan hiasan sanggul dan ikat kepala yang diberi nama Koasi serta hiasan kalung disebut Palonda. Pakaian adat laki-laki juga memiliki hiasan tambahan yaitu ikat pinggang atau Sulepe dan ikat atau penutup kepala. Pakaian pria anadalo kabaena ini pula dilengkapi senjata tajam berupa keris yang diselipkan pada pinggang. Penggunaan keris ini merupakan perlambang ksatria bagi laki-laki. 

Ragam Motif Pakaian Adat Waipode (perempuan) Tokotua-Kabaena

Busana adat Kabaena biasanya juga dipakai dalam acara hari besar nasional dan acara adat pohombunia, dan penyambutan tamu seperti tarian, bagi para penari yang berperan sebagai perempuan memakai taicombo, taicombo merupakan baju adat dengan corak rok berwarna merah marun dan atasan baju hitam dengan bagian bawah baju mirip ekor ikan duyung. Sedangkan untuk penari yang berperan sebagai laki-laki memakai taicombo yang dipadukan dengan selendang merah, selain itu Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri.

Ragam Motif Pakaian Adat Anadalo (Laki-Laki) Tokotua-Kabaena

Umumnya pakaian adat kabaena ini biasanya paling sering digunakan pada saat acara pernikahan. Pakaian adat wanita dan laki-laki ini hingga sekarang masih terus dipertahankan untuk melestarikan kearifan local budaya nenek moyang dan leluhur kabaena. Hingga kini terdapat beberapa modifikasi pada design pakaian adat tersebut, agar terlihat lebih modern dan anggun. Perubahan tersebut tentunya dengan tidak menghilangkan unsur pakaian adat khas kabaena.

Pakaian adat Kamokolean-Tokotua secara umum terdiri dari tiga macam warna yaitu warna merah hati, hijau dan hitam. Warna merah biasa dipakai pada saat acara adat, warna hijau merupakan pakaian keseharian mokole dan warna hitam dipakai pada acara resmi pemerintahan.

q)        Motif-Corak Kabaena
Motif atau corak khas kabaena merupakan elemen dengan makna simbolis khas moronene-tokotua dapat dilihat melalui penggunaan citra seperti pakaian, syal, kain yang dipakai masyarakat kabaena dan komponen structural seperti bentuk rumah, hiasan dan ornamen naratif lainnya berfungsi memberikan ciri motif khas budaya masyarakat tokotua kabaena.
Motif dan Corak Khas Kabaena - Elbert (1912:31&39)

r)          Makanan Tradisional
1.         Tinula
2.         Gola Ni’i
3.         Nivuai
4.         Teo
5.         Ondo
6.         Nidivi
7.         Tabaro
8.         Robu
9.         Vade
10.     Sako-sako
11.     Dodolo
12.     Tonea



s)         Perayaan Budaya
1.        Upacara adat
Upacara adat sering kita temukan pada acara pelantikan raja Pehombunia Mokole dan acara pernikahan salah satunya ialah penyerahan Langa.
2.        Upacara Tanam (Motasu)
Tradisi ini dilakukan setiap tahun di musim tanam dengan memperhitungkan kalender bulan untuk meminimalisir potensi kegagalan panen. Tradisi menanam bagi masyarakat moronene melalui tahapan Momowita (peninjauan lokasi)-Humuni (membuka lahan)-Mesungki (pembersihan lahan)-Mobelaiwita (pengolahan lahan)-Moleleani (menentukan batas lahan)-Metondo (pembuatan pagar)-Mpososadia Polongo (persiapan benih)-Motasu (menanam)-Mondaka Pae (pengendalian hama)-Mongkotu (memanen).
3.         Pesta adat
-          Adati Pontulaaha  (Kokaaha-Dondoua)
Adati Pontulaaha, yakni tradisi pesta panen merupakan pesta makan dan minum bersama dengan memanjatkan doa kesyukuran ketika selesai panen dan berhasil atau biasa juga disebut dengan istilah Pontulaaha yaitu pembuatan nasi lemang dalam bambu yang dibakar.
-          Adati Metarima
Metarima artinya ‘menunggu’ yang dimaksudkan ialah menunggu kedatangan pengantin wanita gadis yang sudah jadi mantu diterima pihak laki-laki yang ditandai dengan diadakannya berbagai kegiatan, antara lain: pesta perkawinan.
4.         Mangkilo
Tradisi proses pengislaman anak-anak setelah memasuki usia remaja yang di bimbing oleh guru Mangkilo.
5.         Tradisi Maulu’a
Tradisi memperingati kelahiran Rasulullah sebagai ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammmad S.A.W.
6.        Tradisi Mikraji’a
Peringatan isra wal mi’raj untuk mengingat peristiwa penting lailat al mi’raj yaitu perjalanan Nabi Muhammad S.A.W mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu.
7.        Tradisi Nishfu Sya’ban
Tebasano sipu sekaligus pencucian benda-benda pusaka kerajaan.
8.         Mompaka Ana Elu
Tradisi Mokole pada saat setelah sholat idul fitri, mengundang seluruh anak yatim, piatu dan yatim piatu untuk duduk bersama-sama Raja Makan secara melingkar setelah itu di berikan sumbangan berupa pakaian dan uang untuk biaya hidup.

b)        Cerita Rakyat
Da Tebota Tulanggadi tersebutlah dalam cerita, dahulu datang rombongan Dendeangi dan Indaulu dari daratan moronene untuk membangun peradaban di pulau kabaena. Suatu hari mereka akan menyelenggarakan pesta panen Kokaaha Dondouwa maka diperintahkanlah kepada rakyatnya mencari bambu untuk menanak nasi (Tinula) di Kura NgkapaSetelah bamboo dipotong nampaklah seorang pemuda dengan wajah rupawan keluar menggunakan Duba Tongkiwonua dengan menggenggam Gala/Sama (tombak bercabang tiga), Pasatimpo WoelaaPanggulu Ngisi Diu dan keris Tobo Tongki Wonua. Pemuda tersebut kemudian diberi nama ‘Da Tebota Tulanggadi’. 

Tari Kolosal & Ratu Indaulu Kabaena
                                                                   
D.     PETA POTENSI ADAT KABAENA
(KAINDEA-TOKOTUA)

Peta menjadi acuan dalam perencanaan tata ruang wilayah sebagai dasar pelaksanaan pembangunan Nasional. Dalam perencanaan tata ruang seringkali tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pejabat dan perusahaan-perusahaan besar. Rendahnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam penataan ruang, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kawasan serta ketidakjelasan tata batas ditingkat tapak sehingga menimbulkan berbagai konflik keruangan antara masyarakat adat dengan pemerintah dan perusahaan. Penyerobotan lahan dan klaim sepihak seringkali dilakukan oleh pemerintah dan/atau perusahaan terhadap wilayah adat. Masyarakat adat seringkali kalah dalam peradilan karena tidak dapat menunjukkan bukti-bukti hak atas wilayah adat mereka yang telah dirampas oleh pihak luar (pemerintah dan perusahaan). Oleh karena itu, masyarakat adat harus dapat menunjukkan hak-hak atas wilayah adat dengan sebuah peta. Peta merupakan alat bantu yang menjadi penting bagi masyarakat adat untuk menunjukkan keberadaannya secara faktual (nyata) serta menegaskan identitas dirinya dengan segala hak asal usulnya. Dengan demikian, masyarakat adat mempunyai “senjata” untuk melawan dan merebut wilayah adatnya yang telah dirampas oleh pemerintah dan perusahaan melalui jalur hukum di pengadilan.

Sejarah menunjukkan bahwa pemetaan dan pengumpulan informasi spasial lainnya bukanlah kegiatan yang bebas nilai.  Kegunaan dan kontrol peta digunakan oleh yang pembuatnya, yang kadang-kadang bisa merugikan pihak lain.  Sejarah peta, bahkan sampai sekarang, menunjukkan bahwa siapa yang menguasai metodologi serta pemanfaatan dan kontrol peta (ruang) maka dialah yang paling diuntungkan dalam memanfaatkan ruang di dunia ini.  Dengan kondisi tersebut, Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat (PPWA) menjadi penting untuk dilakukan. Masyarakat adat harus menjadi aktor utama dalam setiap proses-proses pemetaan sehingga mereka dapat mengontrol dan menggunakan peta wilayah adat yang dihasilkan.

1)         Peta Asli (Mental Map)
Peta Asli (Mental Map) yaitu peta dari persepsi masyarakat adat yang dihasilkan dari consensus atau kesepakatan umum dalam tata cara kehidupan diantara sesamanya. Anggota masyarakat yang tinggal dan hidupnya tergantung pada wilayah adat, sangat mengenal dengan baik bentuk-bentuk dan penggunaan lahan di wilayah adat mereka, seperti; hutan adat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, laut, pola aliran sungai, tempat berburu, tempat pengembalaan, tempat mencari ikan, perladangan, persawahan dan lainnya. Ide tentang bagaimana memindahkan mental map di masyarakat adat ke dalam peta tertulis (masyarakat adat yang membuat peta secara bersama-sama), inilah yang kemudian dikenal dengan “Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat” atau “Pemetaan Berbasis Masyarakat Adat”Peta adalah alat dokumentasi sejarah dan budaya (sejarah, legenda, tempat keramat, tempat suci, wilayah kelola, dll). Dalam konteks ini peta berfungsi sebagai alat tawar masyarakat adat (bergaining position) dengan pihak luar yang mudah dipahami untuk mendapatkan pengakuan dan perlidungan terhadap wilayah adat baik daratan juga pesisir dan pulau-pulau kecil.
  
“Petakan Wilayah Adatmu, Sebelum Dipetakan Orang Lain
Masyarakat adat harus memetakan wilayah adat mereka sendiri dan mereka harus menjadi aktor utama dalam setiap proses pemetaan, karena hanya mereka yang punya pengetahuan mendalam mengenai ruang hidupnya. Masyarakat adat yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayah adatnya, sehingga hanya mereka yang mampu membuat peta secara detail dan akurat mengenai sejarah, tataguna lahan, pandangan hidup atau harapan untuk masa depan. 

Peta potensi adat kabaena menggambarkan tentang sejarah perkembangan wilayah Pulau Kabaena yang awalnya terdapat tiga wilayah masing-masing adalah Batu Sangia, Sangia Wita dan Wumbu Rano sebagai pusat pemukiman awal, lalu berkembang lagi pemukiman dengan lahirnya Wonua Tirongkotua dan Wumbu Ntoli-Toli. Nama pulau kemudian ditetapkan adalah Kotu’a. Pusat ibukota pemeritahan di Ee Mpu’u dan Makam tua di La'ohama yang terdapat pada batas wilayah Desa Tangkeno dan Tirongkotua serta makam tua di Pedoomi antara Teomokole dan Olondoro serta keberadaan situs benteng untuk perlindungan dan pertahanan kini menjadi situs sejarah penanda pusat budaya masa lampau kabaena. Sejarah adat kabaena kemudian berkembang seiring pertambahan jumlah penduduk dan system pemerintahan yang semakin maju dengan mulai dibangun pusat pemukiman baru membentuk kampung-kampung tua awal untuk mendukung jalannya pemerintahan adat kamokolean seperti pusat pemerintahan di tangkeno, kotu’a dan lengora sebagai wilayah pusat penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dan kampung-kampung syara sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan dewan adat (legislative) dalam sejarah adat masing-masing kamokolean seperti tirongkotua, rahadopi, poo, enano, balo, dongkala, batuawu.

Identifikasi wilayah pemerintahan kedatuan kabaena tercatat telah dimulai sekitar abad ke-XI masa pemerintahan mokole ke-I ratu Indaulu. Sejarah perkembangan wilayah dan hubungan luar negeri kamokolean kabaena telah terjalin dengan kerjaan gowa sejak Mokole Maligana yang menikah dengan Kr. Basse putri raja gowa diberi gelar Dg.Masarolabbi kemudian terus berkembang maju mencapai masa keemasannya terutama masa pemerintahan Mokole Manjawari diantaranya adalah :
-         Diangkat menjadi raja/opu kepulauan selayar dan kerjasama perang melawan labolontio (abad ke-XV) yang menguasai perairan kepulauan Moro Filipina, banda sampai perairan selayar.
-  Diangkat menjadi sapati (perdana menteri) pertama kesultanan buton masa pemerintahan Lakilaponto/Haluoleo/Murhum (1491 M-1537 M)
-       Perjanjian Bungingkalo yakni bersama polea, rumbia membentuk federasi dengan kesultanan Buton dalam hal kerjasama pertahanan keamanan wilayah dengan gelar Oputa Sambali raja-raja tetangga atau Opu/Laki Sambali (kerajaan anggota federasi kesultanan) yang di dokumentasikan dalam peta batas wilayah system pertahanan keamanan kesultanan buton bersama 4 (empat) bharata (daerah otonom kesultanan muna, tiworo, kulingsusu dan kaledupa), 4 (empat) matana sorumba (wabula, lapandewa,watumotobe dan mawasangka), serta 4 (empat) bhisa patamiana yang dikukuhkan dalam murtabat tujuh konstitusi kesultanan buton dayanu iksanuddin/laelangi (1578 M-1615 M).

Hubungan luar negeri kamokolean kabaena dapat dilihat berdasarkan periode berikut :
-        Periode pertama perjanjian bungingkalo (1491)
Kerjasama raja mulae – buton, lakilaponto - muna, manjawari – kabaena dan selayar dalam menghadapi perompak kelompok bajak laut Labolontio yang menguasai perairan yang membentang dari Mindanao, laut banda sampai selayar dilanjutkan perjanjian bungingkalo untuk kerjasama pertahanan dan keamanan wilayah antara buton-kabaena-rumbia.
-        Periode kedua district kabaena dalam zelfbesturende landschappen (1906)
Pasca pembaharuan perjanjian bongaya (kontrak bongaya) antara hindia belanda dan raja-raja sulawesi selatan dan tenggara 9 agustus 1824 pembentukan wilayah administrasi hindia belanda terbagi atas 3 (tiga) wilayah (1) Rectreek Bestuurd Gebeid, negeri-negeri yang langsung berada dibawah kekuasaan hindia belanda (2) Zelfbestuur Landshappen atau Varstelenden, yakni negeri-negeri kerajaan yang tidak berada langsung dibawah pemerintahan belanda (3) Kerajaan Merdeka yang hubungannya dengan perjanjian bongaya. Maka kesultanan buton kemudian melalui perjanjian sultan buton Muhammad Asikin dengan residen belanda Brugman 8 april 1906 (perjanjian asikin-brugman), buton menjadi zelfbesturende landschappen atau swapraja yaitu wilayah yang dikuasai oleh pribumi dengan system pemerintahan sendiri berhak mengatur urusan administrasi,hokum dan budaya internalnya tetapi dipihak lain harus mengakui kedaulatan dan pengawasan pemerintah hindia belanda, sejak saat itu wilayah buton dan kerajaan sekitarnya direstrukturisasi kedalam system district. maka kabaena pada waktu itu masih terbagi 3 (tiga) wilayah kamokolean dimana Raja Kotu'a H. Muhammad Arsyad dengan gelar Mbue Ntama Day Bontila, Raja Tangkeno H. Jamaluddin gelar Mbue Ntama Motu'a, dan Raja Lengora La Boli. Penataan ulang system pemerintahan dilakukan berdasarkan wilayah administrative afdeling maka kabaena menjadi Satu wilayah distrik dengan mengangkat kepala distrik pertama H. Jamaluddin Mbue Ntama Motu'a dibawah koordinasi swapraja buton dalam pelaksanaan kegiatan dan adat secara dejure namun secara defacto jalannya sistem pemerintahan dan pemilihan raja masih otonomi penuh kamokolean kabaena.
-        Periode ketiga district kabaena dalam afdeling buton dan laiwoi (1940)
Berdasarkan ketetapan gubernur timur besar (geuverneur van groote ost) hindia belanda tanggal 24 februari 1940 wilayah Sulawesi selatan dibagi menjadi 7 (tujuh) wilayah administrative afdeling salah satunya afdeling buton dan laiwoi yang dibagi menjadi 3 (tiga) onder afdeling :
            .  Afdeling laiwoi ibukota kendari
2          .  Afdeling muna ibukota raha
            .  Afdeling buton dan kepulauan tukang besi ibukota bau-bau
Status onderafdeling diberikan pemerintah hindia belanda kepada daerah-daerah yang memiliki kekuasaan asli dan kedaulatan yang dihormati oleh pemerintah hindia belanda. Kabaena kemudian menjadi salah satu district dalam wilayah afdeling buton sampai masa kemerdekaan.

2)         Landasan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat (PPWA)
Identitas budaya dan Keberadaan wilayah adat merupakan prasyarat bagi keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia. Wilayah Adat ini dipahami sebagai suatu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun dihuni, dikuasai dan dikelola oleh Masyarakat Adat, baik sebagai penyangga sumber-sumber penghidupan maupun sebagai penanda atas identitas sosial yang diwarisi dari leluhur mereka, atau yang diperoleh melalui kesepakatan dengan Masyarakat Adat lainnya. Identitas budaya dan wilayah adat inilah yang menjadi sumber hak kolektif bagi masyarakat adat dan hak-hak ini merupakan hak konstitusional yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemennya. Untuk melaksanakan Putusan MK No. 35 dan berbagai UU sektoral lainnya seperti telah disampaikan sebelumnya yang sudah lebih dulu mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak atas ulayat (wilayah adat) ini menjadi penting bagi masyarakat adat untuk segera menunjukan keberadaannya beserta hak asal-usulnya dengan melakukan percepatan pemetaan partisipatif.

Pada dasarnya, masyarakat adat bisa membuat peta wilayah adatnya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang terkait penataan ruang, diantaranya ; UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Pasal 65)
1.        Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
2.    Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a.       Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b.       Partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c.       Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.  PP No. 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Masyarakat adat dapat melakukan klaim wilayah adat yang dikelola dengan pengetahuan lokal berdasarkan hak sejarah, asal-usul atas ruang hidup dan sumberdaya alam. Karena pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat (termasuk hak atas wilayah adat) merupakan amanat konstitusi Negara. Meskipun Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat secara politik sudah di amanatkan dalam konstitusi, namun pengakuan tidak berlanjut pada proses legeslasi hak tertentu, terutama wilayah adat. Sebagian besar peta wilayah adat yang ada saat ini belum ada pengakuan (dalam bentuk pendaftaran) dari Negara. Sehingga, selama ini data dan informasi masyarakat adat dan wilayah adat tidak ada dalam peta-peta yang dihasilkan oleh pemerintah.

Diperlukan gerakan massif untuk memetakan wilayah adat melalui percepatan pemetaan partisipatif dan mendorong pemerintah untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Semua kebijakan diatas merujuk pada peta wilayah adat untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu, masyarakat adat dan pendukung gerakan masyarakat adat harus segera menindaklanjuti kebijakan-kebijakan diatas dengan memetakan wilayah adat melalui percepatan pemetaan partisipatif wilayah adat.

Pentingnya dilakukan Pemetaan Partisipatif antara lain;
     Membantu pemerintah dalam melakukan identifikasi komunitas adat beserta wilayahnya dalam rangka menuju pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
         Salah satu syarat dalam peraturan perundangan agar masyarakat adat bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Negara  adalah adanya wilayah adat yang jelas. Keberadaan wilayah adat salah satu alat pendukung yang dapat dibuktikan adalah dengan peta wilayah adat yang disusun bersama oleh masyarakat adat secara partisipatif.
       Mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat adat mengenai pentingnya memahami wilayah adat serta memahami hak-hak mereka atas sumber daya alam (tanah, hutan, sungai, pesisir dan laut).
     Menumbuhkan sifat gotong royong/partisipasi masyarakat adat baik dalam bentuk tenaga, waktu, pendanaan, maupun material lainnya.
      Menumbuhkan semangat untuk menggali dan mentransfer pengetahuan lokal, sejarah asal-usul, sistem kelembagaan setempat, pranata hukum setempat, identifikasi sumber daya alam yang dimiliki, dan sebagainya kepada pemuda dan pemudi adat sebagai penerus adat agar terjadi regenerasi adat.
    Menumbuhkan semangat untuk mempertahankan dan memperkuat kelembagaan adat beserta hukum adatnya, baik yang dulu sudah ada (direvitalisasi) maupun bentuk baru (direkontruksi) yang disesuaikan dengan konteks kekinian.
      Memperjelas batas antar wilayah adat daratan dan pesisir pulaupulau kecil untuk menghindari terjadinya konflik horizontal ataupun konflik vertikal karena adanya perubahan bentang alam dan alih fungsi kawasan. 
        Peta merupakan alat bukti dan dokumentasi ruang hidup masyarakat adat, baik tata kuasa, tata kelola dan tata produksinya yang bisa dijadikan acuan untuk melakukan perencanaan pembangunan, pemberdayaan ekonomi dan  tata ruang.
     Menegaskan kepemilikan/pengelolaan wilayah adat. Peta adalah alat dokumentasi sejarah dan budaya (sejarah, legenda, tempat keramat, tempat suci, wilayah kelola, dll). Dalam konteks ini peta berfungsi sebagai alat tawar masyarakat adat (bergaining position)

Dalam tradisi masyarakat adat moronene-tokotua penamaan hutan secara lokal dikenal dengan Inalahi, hutan kecil disebut Olobu, padang rumput disebut Tana lapa/Luwuno, perkebunan disebut Uma, perladangan disebut Kura. Klasifikasi penamaan hutan bagi masyarakat adat Moronene-Tokotua terdiri dari:
1.       Inalahi Pure (Hutan Inti)
Masyarakat Adat Moronene-Tokotua mengenal adanya wilayah yang dikeramatkan dan turun temurun areal tersebut dilarang dikelola karena merupakan hutan alam primer yang tidak pernah dijamah dan merupakan sumber mata air masyarakat adat Moronene-Tokotua, secara mitologi diyakini sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus. Hutan ini merupakan lokasi upacara dan ritual moli wonua untuk meminta permisi masuk wilayah tersebut setiap tahunnya oleh masyarakat adat Moronene-Daratan dan dirangkaikan dengan upacara montewali wonua (pencucian kampung).
2.       Inalahi Popalia (Hutan Larangan)
Inalahi popalia adalah hutan yang dikeramatkan yang dipercaya sebagai tempat makhluk halus. Oleh karena kepercayaan itulah inalahi popalia tersebut tidak pernah diganggu oleh manusia dari turun temurun serta dalam inalahi popalia tersebut merupakan sumber mata air serta tempat perlindungan segala jenis hewan.
3.       Ianalahi Kotoria (Hutan Penyangga)
Inalahi kotoria adalah kelompok hutan sejenis tempat tertentu yang pernah ditempati/diolah (arti pekampoa/waworaha) baik untuk bercocok tanam maupun berburu dan meramu serta dijadikan tempat penguburan para sangia (Mokole) pemimpin para ksatria. Tempat keramat tersebut (kotoria) adalah tempat peristirahatan satwa karena dirasa aman dari gangguan manusia, wilayah sebaran kotoria dapat dijumpai di beberapa daerah seperti didaerah sampa-lakambula (cabang/pertemuan sungai-sungai).
4.       Inalahi Peuma (Hutan Perkebunan)
Inalahi peuma merupakan hutan perkebunan yang sewaktu-waktu dapat diolah oleh masyarakat untuk dijadikan kebun.
5.       Olobu (Hutan Kecil)
Olobu adalah kelompok hutan kecil yang ada di tengah padang dengan pepohonan yang jarang, satwa jarang dijumpai dihutan tersebut dan kadang tidak dijumpai sama sekali.
6.       Kura (Perladangan)
Kura adalah lokasi bekas perkebunan masyarakat yang pernah diolah kemudian ditinggalkan.
-        Kura Tangka merupakan bekas kebun/ladang yang pernah diolah, kemudian pindah ke tempat yang baru. Tempat ini akan dijadikan kebun setelah perpindahan telah dilakukan di beberapa tempat, biasanya jangka waktu memanfaatkan kura tangka dilakukan selama lebih kurang 5 sampai 10 tahun atau tergantung dari kesuburan tanah.
-    Kura Ea adalah bekas kebun/ladang yang pernah diolah sekitar 1 sampai 10 tahun kemudian ditinggalkan dengan hamparan luas (lowo lue).
-    Kura Ate adalah bekas kebun yang pernah diolah dengan hamparan kecil (lowo ote) kemudian ditinggalkan 1 sampai 5 tahun.
-      Kura Hinuarako adalah bekas kebun yang pernah diolah dan baru tahap penanaman tiba-tiba pemilik kebun meninggal dengan terpaksa kebun tersebut tidak dapat dilanjutkan dan jika padi tersebut sudah terlanjur ditanam maka alasan tertentu padi tersebut tidak dijadikan bibit.
-   Kura Sailela adalah bekas kebun yang pernah diolah baru tahap perintisan (umawu) atau penebangan kayu (monea) tiba-tiba pemiliknya meninggal. Kebun tersebut harus ditinggalkan dan tidak bisa ditanami.
-          Tinalui adalah kebun yang sudah ditanami kemudian hasilnya dipanen kembali secara berturut-turut atau dua kali panen.

7.       Luweno (Padang Savana)
8.       Bako (Hutan Bakau)
9.       Beo (Tambak Garam)
10.   Bolo (Tambak Ikan Tradisional)

Setiap anggota masyarakat adat Moronene-Tokotua diberikan lahan oleh lembaga adat untuk digarap dan dimanfaatkan secara turun temurun. Lokasi dan luas lahan masing-masing anggota masyarakat adat ditentukan berdasarkan musyawarah adat. Lahan yang dimanfaatkan atau dikelola dapat diambil oleh lembaga adat dan diberikan hak kelolanya kepada masyarakat adat lainnya melalui musyawarah adat. Pengelolaan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam di sekitarnya dilakukan secara tradisional berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dan menjadi kebiasaan yang dianut dalam masyarakat.

a)         Identifikasi Wilayah Adat
Identifikasi Wilayah Adat bertujuan untuk mengidentifikasi apakah wilayah tersebut merupakan komunitas adat atau bukan dengan menggali informasi mengenai sejarah, sistem kelembagaan adat,  hukum adat, kondisi sosial budaya serta tenurial (potensi dan ancaman).
 
Sejarah keadatan kabaena masa lampau dapat dilihat pada jejak sejarah struktur pemerintahan adat kamokole’a khususnya dimasa pemerintahan mokole Lanota (1727-1781) telah dibentuk jabatan-jabatan adat kamokolean yang membawahi dan mengkoordinasi wilayah tobu/kadie/limbo a.l:
 a.         Syara (Lembaga Adat)
Mengkoordinir Sembilan wilayah yang bertanggungjawab pada mokole.
1.       Enano
2.       Watumponu/Manuru
3.       Tapuhaka
4.       Dongkala
5.       Talaga Kecil
6.       Talaga Besar
7.       Kokoe
8.       Sagori
9.       Pongkalaero
b.         Mokole (Raja)
Mengkoordinir Tujuh wilayah yaitu :
1.       Baruga
2.       Rahadopi
3.       Poo
4.       Rahampuu
5.       Reteno
6.       Emokole
7.       Langkema

c.         Mangkuta Ala (Perdana Menteri)
Sapati yang mengkoordinir lima wilayah yaitu :
1.       Lengora
2.       Tedubara
3.       Lamonggi
4.       Pising
5.       Baliara
d.         Kapita
Panglima kerajaan bertanggungjawab kepada mokole yang bertugas untuk menjaga ketahanan ibukota kerajaan mengkoordinir satu wilayah yaitu :
1.       Balo
e.         Pu’uno Adati
Pu’uno Adati adalah tokoh adat yang bertugas menjalankan hokum dan perundang-undangan kerajaan berkedudukan di wilayah :
1.     Rahadopi
f.          Imamu Lompo
Kepala atau pimpinan besar agama yang mengatur jalannya hokum syariah islam diseluruh wilayah kerajaan.

Kemudian Mokole Lanota berdasarkan musyawarah syara da motu'a menyetujui pembagian wilayah kerajaan. Sejak saat itu pulau kabaena kemudian dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah kerajaan kamokolean dengan memberikan kewenangan secara berdaulat penuh yakni Tangkeno, Lengora dan Kotua dengan penguasaan terhadap wilayah adat (ulayat) masing-masing. Seperti halnya wilayah kotua yang meliputi Umala Talapondano-Watu Ncalaero-Tirongkotua-Watu Sangia-Olobara-G.Katopi.

Berikut beberapa pengertian yang membantu dalam proses identifikasi masyarakat adat;
-            Komunitas Adat, Sesuai dengan keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III pengertian dari komunitas masyarakat adat, adalah “sekelompok masyarakat adat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat”.
-            Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat hukum adat untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahanpermasalahan kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
-            Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat hukum adat yang atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat.
-            Wilayah Adat. Sedangkan pengertian wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun didiami dan dikelola oleh masyarakat adat sebagai penyangga kehidupan mereka yang diwarisi dari leluhurnya atau diperoleh melalui kesepakatan dengan masyarakat adat lainnya.
-            Ciri-ciri wilayah adat :
§  Memiliki sejarah sosial dan spasial
§  Didiami dan dikelola oleh komuitas adat
§  Disepakati bersama internal dan eksternal komunitas adat
§  Diurus oleh lembaga adat
§  Memiliki bukti-bukti tempatan
Beberapa contoh penamaan satuan wilayah adat diberbagai daerah :  Hoana dan Soana di Halmahera Utara, Pnu di Halmahera Tengah, Nagari di Minangkabau, Kemukiman dan atau Gampong di Aceh, Binua di beberapa daerah di Kalimantan Barat, Marga di Sumatera bagian Selatan, Negeri di Maluku Tengah, Ratsckap di Kep. Kei, Hoana dan Soana di Halmahera Utara, Lewu/Tumpuk/ Laman/Lebo di beberapa daerah di Kalimantan dan Kaindea/Valaka/Tobu/Bagea untuk penamaan satuan wilayah adat di kepulauan Kabaena.

b)        Peta Tematik
Peta Tematik adalah peta yang menggambarkan tujuan yang diinginkan dari awal pembuatan peta. Peta tematik ini biasanya menunjukkan tema-tema; Peta Tata Guna Lahan, Peta Batas wilayah, Peta Sejarah, Peta Pemanfaatan Hasil Hutan dan sebagainya. Sedang Peta Topografi adalah peta yang menunjukkan posisi dan tempat dimanapun berada dengan aturan yang baku. Peta ini mengandung informasi yang sangat lengkap mengenai ketinggian dan kemiringan suatu tempat (garis kontur), tanda-tanda alam (sungai, jalan, hutan, danau dll), dan juga batas-batas administratif. Peta ini dibuat oleh lembaga resmi yaitu Badan Informasi Geospasial (BIG).
Peta tematik yang dibuat dalam Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat minimal ada 2 jenis yaitu :
a.         Peta Tematik Wilayah Adat.
Peta tematik ini berisi informasi mengenai :
            Batas wilayah adat
            Bentang alam
            Tempat-tempat penting
b.         Peta Tematik Penggunaan Lahan (Land Use) Wilayah Adat.
Peta tematik ini berisi informasi mengenai :
            Batas wilayah adat
            Penggunaan lahan (Land Use)
Keterangan dari Informasi pada peta tematik batas wilayah adat :
            Merupakan batas kesepakatan berdasarkan sejarah/batas sosial
            Nama-nama tempat dalam batas wilayah adat harus dicantumkan
            Batas wilayah adat bisa berupa tubuh air, tanda alam atau juga bisa tanda buatan
            Bentuknya bisa garis, titik, atau areal/poligon
Penjelasan mengenai Tubuh Air, Tanda Alam dan Tanda Buatan pada table berikut :
Tabel 9. Batas Wilayah Adat
Tubuh Air
Tanda Alam
Tanda Buatan
§ Sungai : orde diselaraskan dengan skala (sungai utama, anak sungai)
§ Danau/telaga/waduk/dam/situ/laut+garis pantai
§  Gunung dan bukit (puncak,pegunungan,lembah)
§  Air terjun
§  Mata air
§  Tebing/jurang
§  Terumbu karang
§  Delta (tanah timbul)
§  Palung
§  Teluk
§  Tanjung
§  Gusung
§  Bentukan alam lain
§  Jalan
§  Kanal/parit
§  Tanaman/pohon khusus/wanatani-agroforestry
       Tembawang (kalimantan barat)
       Tombak-haminjon-kemenjan
       Simpkng (Kalimantan timur)
       Repong (lampung)
       Kebun talun(jawa barat)
§  Tugu/pal/monument/prasasti
§  Makam
§  Bangunan
§  Pola ruang kelola (kampung,hutan,lahan budidaya)

c)         Peta-peta tematik Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat (PPWA)
•    Peta Wilayah Adat.
Peta ini menunjukkan batas-batas wilayah adat yang menjadi kekuasaan komunitas/masyarakat adat tertentu. Peta ini dibuat untuk merespon faktor-faktor yang dianggap akan mengganggu wilayah kekuasaan komunitas/masyarakat adat tersebut.
•    Peta Penggunaan Lahan Wilayah Adat.
Tata guna lahan biasanya digambarkan dengan menggunakan simbol-simbol wilayah atau polygon-poligon yang memiliki warna yang berbeda. Simbolsimbol tersebut menunjukkan mana wilayah yang merupakan sawah, kebun, hutan adat, tempat berburu dan sebagainya. Selain dengan warna-warni dapat juga ditambahkan simbol-simbol huruf atau angka untuk menunjukkan tahun tanam atau jenis lain yang ada didalam suatu wilayah tanam. Misalnya ladang atau kebun di wilayah pesawahan.

Peta Wilayah Adat Kasepuhan Pasir Eurih
Sistem Hutan Adat :
-       Hutan lestari; wilayah dikelola masyarakat untuk pertanian,perkebunan, perumahan dan aktivitas penunjang kehidupan masyarakat.
-      Hutan larangan; wilayah hutan yang tidak boleh dimasuki orang
-      Hutan Adat; hutan yg hanya boleh dimasuki orang tertentu, sesepuh adat untuk kegiatan adat

Beberapa peraturan daerah tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat antara lain :
1.     Perda Kabupaten Bombana No.4 tahun 2015 tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat moronene hukaea laeya di kabupaten bombana.
2.    Perda Kabupaten Lebak No.8 tahun 2015 tentang pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hokum adat kasepuhan.
3.       Keputusan Bupati Sigi No.189.1-521 tahun 2015 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hokum adat To Kaili dan To Kulawi di kabupaten sigi.

Tabel 10. Wilayah Tematik Adat Kabaena

No
Wilayah
Tematik Adat
I
Watu Sangia
Gunung batu berbentuk tanduk mahkota mokole (Sangia/Raja), Sawerigading bersama rombongannya singgah pada gelombang-I dari Luwu & II dari Konawe. Tempat Donsiolangi dan Indaulu dari Wita Ea tinggal dan membuat pemukiman di Lembo Ea-Wumbu Geresa-Wataroda kaki gunung Watu Sangia.
II
Sangia Wita
Donsiolangi dan Indaulu setelah penobatan mokole pertama dengan gelar Da Tebota Tulanggadi & Da Tebota Wulele Waru membuat istana, kemudian pindah dan tinggal bermukim di Waru & E’e Mpu’u (kaki gunung Sangia Wita).
III
Wumbu Rano
Tempat pemukiman pertama masyarakat kabaena masa lampau, dihuni keturunan sawerigading, Doo Siolangi dan Indaulu (Walu ‘Ea) bersama puluhan kelompok dan ternak dari Wita ‘ea bermukim dan menyebar sampai ke wilayah Wumburano.
IV
Tirongkotua
Kampung Syara lokasi benteng matarapa tempat pertahanan serangan musuh di wonua tirongkotu’a yang menjadi tempat makam raja Kotu’a Lapati di Laohama-perkampungan tua yang dihuni masyarakat kabaena setelah batusangia, sangia wita & wumbu rano
V
Balo
Daerah istimewa dan otonom, Wilayah khusus kaindea mokole yang dibangun menjadi pemukiman oleh pengantar utusan kerjaan buton (bontona peropa & baluwu) mencari sapati Manjawari untuk meminta bantuan menghadapi ancaman kerajaan ternate dan gangguan keamanan bajak laut tobelo, merupakan bagian wilayah wumbu Ntoli-toli pemukiman pertama yang dibangun masyarakat kotu’a & wilayah ini pertama kali lumense diperkenalkan sebagai tarian budaya.
1
Tangkeno
Pusat kerajaan moronene-kabaena lokasi istana Laica Ngkoa tempat mokole menjalankan pemerintahan dan membangun benteng-benteng utama kerajaan a.l Tawulagi, Tuntuntari, Tondowatu, Ewolangka, Doule dengan panglima perang kerajaan “Tamalaki” membawahi pasukan Lampi O’o (pasukan pengawal raja), Tama Mo’anu (pasukan perang), Toria Ngkapa (pasukan penjaga pantai)-
Pusat kamokolean tangkeno dengan pusaka simbol kekuasaan wilayah otonom “Palonda” setelah dibagi 3 wilayah (tangkeno-lengora-kotu’a)      
2
Lengora
Pemukiman pertama ratu Indaulu dari wita ‘ea di goa watuburi (versi lainnya) sebelum mendirikan istana di tangkeno- Salah satu dari 3 wilayah otonom (tangkeno-lengora-kotu’a) kamokolean kabaena sejak 1664, kota tua pusat kerajaan kabaena day Lengora dengan pusaka simbol kekuasaan Tobo Tandu Tina Mela (mokole day lengora) - Goa Watuburi, goa lukisan didinding batu dengan legenda Wesaori.
3
Kotua-Olondoro
Kota tua pusat kerajaan kotu’a (mokole day kotu’a) dengan pusaka simbol kekuasaan Tobo Tongki Wonua. Ibukota kabaena pada masa lampau periode  mokole/raja I Ntawu Haji Muhammad Yasir dengan gelar Mbue Salama Hadia sejak tahun 1890 sampai era district tahun 1938. Tempat istana mokole kotua XII Mokanda Haji Djamaluddin gelar Mbue Ntama Motua & benteng Watu Langkema di Sudu-Sudu, Wambano Wonua sebagai basis pertahanan pusat pemerintahan.
a
Raha-Dopi
Kampung Syara Raha-Dopi;Istana Papan, istana yang dibangun oleh Waka-Kaa dari bahan papan dengan ragam hias khas moronene-kabaena,merupakan pusat penyelenggaraan adat dan budaya, tempat Waka-Kaa sebagai penerima wahyu “Tobo Kiamba Parewano Sangia” pusat dewan syara da motua (legislative) tempat penobatan (pohombunia) mokole. Dikenal sebagai Wonua-Wumbu Geresa pada masa lampau. Merupakan Limbo Mardica : daerah istimewa dan otonom dewan pohombunia mokole dan wilayahnya tidak dikenakan pajak.
b
Dongkala
Baruga dongkala; kampung Syara tempat penobatan (pohombunia) mokole salah satu pusat Syara Da Motua. Tempat pertamakali Manjawari ke kabaena setelah menjadi sapati di Watumoria dikenal “Watu Pinindano Kalamboro”(Tapak Kaki Raksasa),satu kaki di Dongkala, satu kaki di watusangia hilir sungai waombu. Lokasi pendaratan pasukan Mobrig (mobil brigade) 1956 kompi Capt. Dumalang untuk menumpas DI/TII (gurila-gorombola) kemudian menyebar dan membangun pos di 3(tiga) lokasi tangkeno, teomokole dan sikeli.                    
c
Wonua-Poo
Kampung Tua Wonua-Poo; tempat Dewan Syara da Motu’a  (dari   Abad ke-XV); berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat bertugas menobatkan dan memakzulkan mokole-lokasi daerah mata air wataroda dikaki gunung watusangia tempat mokole pertama Tulanggadi (pria dari dalam bambu di Kura Ngkapa), Wulele Waru (putri dari wawo sangia dari mata air wataroda) dan Waka-Kaa Sangia pertama di acara persiapan pesta panen (kongkaha dondo’ua), metampe dan montula.
d
Teomokole
Kampung Syara, Teono Mokole-pu’u teo perorongano wita (pohon teo seumur dunia) milik mokole & Ponteo’a Mokole (raja); batas wilayah tempat keluarga dan pejabat kerajaan mengantar mokole melakukan kunjungan kenegaraan (torne) - tempat benteng Watu Palangga (pu’u tobu teomokole) untuk  pertahanan dan perlindungan dari musuh. Tempat rahawado (raha tepoawado);Raha tempat pertemuan mokole untuk mengeluarkan perintah/titah apabila melakukan kunjungan luar negeri & tempat pergantian pegawal raja dari Lampi O’o ke Toria Ngkapa. Tempat lokasi ulayat Rarontolea
e
Manuru-Ulungkura
Benteng Watumponu di Ulungkura; tempat pertahanan dan perlindungan kerajaan di wilayah timur kabaena.
f
Sikeli
Kampung One-one (lautan pasir) dari hempasan layar kapal sawerigading yang sandar membawa rombongan Indaulu &  Doo Nsiolangi dari Wita ‘Ea (rumbia). Sangia Sikeli; sebutan untuk penyebar islam yang tiba dipesisir pantai sikeli oleh pasukan penjaga pantai kabaena “Toria Ngkapa”.
g
Watekule
Pasar lama watekule- pesi si'ano Mokole saat Mokole H. Muh. Yasin Day Pu'uroda pertama kali mengadakan pertemuan dengan Belanda -Daerah (kaindea) mokole Icoke Haji Muhammad Natsir Day Watekule.
h
Tabaro-One Nidundu
Sangia Tabaro,wilayah Batuawu; tempat ditemukan laki-laki dari dalam bambu (tari), lengkap berpakaian kebesaran raja membawa tombak bercabang tiga (Gala/Sama), Pasatimpo Woelaa, Panggulu Ngisi Diu & keris “Tobo Tongki Wonua”. Lokasi E’e Nkobura-bura; tempat mata air mendidih dari sumur berpasir (One Nidundu) tempat membuang cincin mas kawin milik anak Mokole Lapati sebelum meninggal-disebut kemudian Dangkal Ate. Asal mula Hukuman berupa denda sebanyak 1000 kabalu beras bagi warga Ncalaero dan kabaena.
i
Batuawu
Kampung syara kotua tempat melantik mokole salahsatunya H. Muh. Ali di Batuawu, lokasi Benteng Lo Iya/Bontoa Wavi Batuawu; tempat perlindungan dan pertahanan masyarakat kabaena terhadap serangan musuh yang datang dari arah selatan (pu’u tobu batuawu).
j
Pongkalaero
Onemea (kampung Ncalaero)-tempat pertama Daeng Masaro tiba dan mendarat di kabaena untuk mencari ayahnya Lapati dan bertemu dengan orang-orang Ncalaero. Lokasi benteng Lyano perlindungan dan pertahanan kerajaan dari arah tenggara.
k
Malapulu
Tempat pertamakali Manjawari dan istrinya tiba di Kabaena dan bermukim di wilayah Malapulu. Dalam kisah Mia Yi Calu (Manjawari) setelah memenangkan sayembara dinikahkan dengan putri raja Mulae kerajaan buton Wa Bana, karena intrik politik diusir dari wilayah Kerajaan - diberikan 'koli-koli' (sampan) terpotong untuk membunuhnya melalui cara ditenggelamkan; akan tetapi dapat berlayar dan mendarat di malapulu.
l
Rahantari
Istana bambu  tempat tinggal khusus yang dibangun oleh 3 org bangsawan dari daratan polea (sangia raromponda-mentu-bawoi) atas izin mokole untuk bermukim di kampung kuno reteno, pebueha & darianga (rahantari sekarang)-bentuk rumah khas rahantari dengan atap dan wune dari bahan bambu.
m
Eemokolo-Balao
Benteng karambau di Balao (E’emokolo); tempat perlindungan dan pertahanan masyarakat kabaena (pu’u tobu balao) terhadap serangan musuh yang datang dari arah utara.
n
Malandahi
Lokasi Labuan Tobelo; kawasan pendaratan tempat berlabuh pertamakali kapal bajak laut dari Tobelo dibawah pimpinan La Bolontio & kapiten Bau Doma- wilayah ini menjadi tempat perang tanding dengan kesatria tokotua.
o
Rahampu’u
Rumah istana yang dibangun untuk mokole oleh pasukan pengawal raja Lampi O’o sebagai tempat peristrahatan bila melakukan perjalanan (tourne) ke kampung-kampung atau melakukan kegiatan berburu.
p
Enano
Daerah istimewa dan otonom; saudara sesusuan para Anakia dan Mokole, Kampung syara - pusat penyelenggaraan adat dan pohombunia mokole wilayah timur setelah pembagian 3 wilayah otonom.
q
Kalimbungu & Wamorapu
Lokasi tempat mendarat para Bonto (Bontona Baluwu & Bontona Peropa) mencari La Barata/Manjawari di kabaena, melalui jalur muna (mawasangka)-untuk menghadapi La Bolontio dalam epos Legenda Tiga Kesatria (Raja Mulae-Manjawari-Lakilaponto). Wilayah E’e Nkinekei (sumur wamorapu),
r
Tedubara
Merupakan tempat pertemuan Mokole & pejabat kamokolean secara berkala disebut E’e Olo merupakan tempat dibawah pohon yang daunnya memiliki rasa asam terletak diantara dua mata air. Tedubara menjadi nama tempat pertemuan tersebut ketika baju milik raja mokole diterbangkan angin tersangkut pada ranting pohon teo (terap). Masyarakat kabaena kemudian menetap dan menata kampung Tedubara yang memiliki arti Teo adalah pohon terap, Duba adalah baju dan Bara adalah angin yang bertiup kencang.


E.     KESIMPULAN

1.    Pulau kabaena adalah kesatuan budaya masyarakat tokotua- kabaena. Pemajuan kebudayaan melalui pemetaan wilayah adat kabaena (kaindea-tokotua) dan pengembangan kelembagaan adat yang mempromosikan kebijakan dan instrumen terkait lahan diperlukan untuk mencegah proses kerusakan lingkungan dan penggundulan hutan yang semakin marak  dan luas karena tumpang tindih penggunaan lahan serta alih fungsi hutan. Pemetaan wilayah adat kabaena kedepan diharapkan dapat menjadi focus kegiatan utama untuk menfasilitasi para stakeholder membangun kesepakatan mengenai tata guna lahan secara kolaboratif yang bermanfaat bagi masyarakat menyongsong otonomi kabaena kepulauan yang mandiri.
2.       Kekayaan sumber adat istiadat kabaena diharapkan dapat terus dikembangkan melalui pendidikan karakter budaya sebagai wujud rancangan kurikulum berbasis budaya, sehingga melalui pendekatan tersebut kekayaan adat istiadat kabaena dapat terus terpelihara dan lestari sebagai warisan dunia.
3.   Perlindungan wilayah dan komunitas masyarakat adat kabaena berserta hak-hak tradisionalnya dalam bentuk menjaga kearifan dan pengelolaan sumber daya alamnya menjadi hal serius yang harus dijalankan oleh pemangku adat kabaena, pemerintahan baik pusat maupun daerah oleh karena itu diperlukan penyiapan data spasial dan non spasial komunitas masyarakat adat kabaena untuk menjaga wilayah dan hutan adat di kabaena.
4.   Keragaman budaya daerah dapat memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal berharga untuk membangun daerah, namun demikian budaya dapat menjadi potensi sekaligus dapat menjadi ancaman karena wilayah kabaena yang multikultural dan multietnik, dengan kondisi aneka budaya itu dapat memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik sosial. Hal tersebut, telah disampaikan oleh Huntington bahwa  sumber konflik di masa datang bukan lagi persoalan ideologi atau ekonomi, melainkan masalah seputar budaya”. Mengantisipasi hal tersebut, diharapkan lembaga adat dan lembaga pendidikan dapat menjadi wahana efektif untuk mentrasformasi nilai-nilai budaya daerah menjadi pilar-pilar budaya nasional dan alat pemersatu bangsa.
5.       Peluang berkembangnya kepulauan Kabaena menjadi daerah otonomi baru yang maju dan berdaya saing sangat bergantung pada strategi pengembangan wilayah yang akan diterapkan. Strategi pengembangan wilayah di Kabaena sangat ditentukan oleh strategi pengembangan sektor usaha prioritas yang mencakup alokasi dan arahan pemanfaatan ruang sesuai potensi dan kelayakan seperti pengembangan wilayah agribisnis, pertanian, perikanan, pariwisata, pertambangan yang ramah lingkungan dan wilayah adat sebagai upaya untuk mencegah alih fungsi hutan, tumpang tindih lahan dengan menerapkan pengelolaan terpadu kawasan melalui mekanisme `cost and benefit sharing` antar sector, memperkuat sistem kerjasama lembaga kemitraan antar masyarakat, pemerintah dan lembaga adat.
  

»  Tokotua Bumi Measalaro  » 


REFERENSI

  1. Lokakarya8 Sosialisasi Proyek CoLUPSIA (Collaborative Land Use Planning and Sustainable Institutional Arrangement  Project) Diskusi Panel Collaborative Land Use Planning 28-29 September 2010.
  2. Kurnia Warman. Peta Perundang-undangan tentang  Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat.
  3. Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN), Panduan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat, 2015.
  4. Melville. J. Herskovits and The Richard. Politics of knowledge. 2004.
  5. Johanes Elbert. “Die Sunda-Expedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main” Band I. 1911.
  6. Johanes Elbert. “Die Sunda-Expedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main” Band II. 1912.
  7. Aswar. Tradisi Kada Sebagai Sumber Sejarah Pada Masyarakat Moronene. Universitas Halu Oleo. 2015
  8. Hasim N. Intama. Tapino Adati Tokotua (Dialog Adat Perkawinan Tokotua)
  9. Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Bombana. Risalah Adat Perkawinan Suku Moronene Tokotua.
  10. Rekson S.Limba dkk. Sejarah Peradaban Moronene. Cetakan I-2015.
  11. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Cerita Rakyat Moronene (Bahasa Moronene dan Bahasa Indonesia). 2016.
  12. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Petunjuk Teknis Revitalisasi Desa Adat. 2016.
  13. Esther Joy Velthoen. Contested Coastlines: Diasporas, Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905. Murdoch University, 2002.
  14. Horst H. Liebner, Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650. 2007.
  15. Syahruddin Mansyur. Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti: Kajian Atas Pola Sebaran Benteng di Wilayah Maluku Utara. Balai Arkeologi Ambon, 2015.
  16. Heksa Biopsi. Kalimat Penobatan Raja: Logika Semiotic Orang Moronene Di Pulau Kabaena (The King Coronation Speech : Semiotics Logics Of Moronene People In Kabaena Island ) Kantor Bahasa Sulawesi tenggara. 2017
  17. Aslim, S. Studi Sumber Sejarah Berbasis Tradisi Lisan “Mengungkap Fakta Historis Mitos-Mitos Asal Usul Suku Bangsa Tolaki Melalui Pendekatan Hermeneutika”.2018
  18. Paul Sarasin & Fritz Sarasin. 1905. “Reise von der Mingkoka-Bai Nach Kendari, Südost Celebes,” dalam Reisen in Celebes, 2 jilid, Wiesbaden, hlm. 334-381.
  19. Treffers, F. “Het Landschap Laiwoei in Zudost Celebes en Zijne Bevolking,”. 1914.
  20. Van der Klift, H. “Huidige Stand van het Zendingswerk op Zuid-Oost-Celebes,” . 1925.
  21. https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sulawesi/kabaena-kerajaan/sejarah-lengkap-kerajaan-kabaena
  22. https://zonasultra.com/asal-usul-kabaena-dan-jejak-sejarah-kerajaan-kotua.html
  23. http://kepelabuhanan.sultraprov.go.id/kabupaten.php?aksi=kabupaten&&idkab=KAB006
  24. http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/petapiaps
  25. http://facebook.com/pages/photos


LAMPIRAN
Rencana Induk Pelabuhan (RIP) RTRW Sultra 2011-2031


Rencana Terminal Khusus (TUKS)/Pelabuhan Khusus (Pelsus) RTRW Sultra 2011-2031


Rencana Pelabuhan Khusus (Pelsus)/Terminal Khusus (TUKS) Kabaena
Dinas Perhubungan Prov.Sultra 


Contoh Peta Wilayah Adat Kasepuhan Kab. Lebak Prov. Banten
Perda No.8 tahun 2015


2 Responses to "Potensi Wilayah Adat Kabaena - Kaindea Tokotua"

  1. terima kasih, sangat bermanfaat dan membantu mengenai informasi di pulau kabaena..

    semoga lebih banyak lagi orang yang menghargai sejarah leluhurnya..

    BalasHapus