KABAENA - KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

KONSERVASI
SUMBERDAYA AIR (SDA) KABAENA

Pusat Studi Kabaena Centre


1.    Wilayah Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.  Sedangkan Daerah Aliran Sungai (Catchment, Basin, Watershed) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan. Gambar DAS disajikan pada gambar 1. berikut :

Gambar 1.  Daerah Aliran Sungai (DAS)

Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi limpasan, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Data hidrologi merupakan bahan informasi yang sangat penting dalam pelaksanaan inventarisasi sumber-sumber air, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber air yang tepat dan rehabilitasi sumber-sumber alam seperti air, tanah dan hutan yang telah rusak.

Gambar 2.  Daur Hidrologi

   Sebagaimana dapat dilihat bahwa tangkapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari semua proses ini. Limpasan nampak pada sistem yang sangat kompleks setelah pelintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi, formasi-formasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman areal dan waktu dari faktor-faktor iklim. 
   Pulau Kabaena dengan luas 867,89 km2 merupakan wilayah yang dikelilingi oleh topografi alami berupa punggung bukit dan pegunungan seperti Gunung Sambapolulu (1400 m), Gunung Toroado (1200 m), Gunung Watusangia (1000 m), Bukit Pising (700 m), Bukit Tg.Magina (600 m), Bukit Katopi (500 m), Bukit Tg.Lengora (600 m), Bukit Buntuweleh (600 m), dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke laut. Batasbatas alami DAS dapat dijadikan sebagai batas ekosistem alam yang memungkinkan seperti wilayah administratif dan wilayah ekonomi seperti batas kabupaten, propinsi, bahkan lintas negara.

Gambar 3.  Wilayah Sungai & DAS Kabaena

Perilaku aliran dan kondisi lingkungan di sepanjang suatu sungai sangat dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di daerah tangkapan air atau catchment area dari sungai yang bersangkutan, baik fenomena yang bersifat alami ataupun fenomena karena campur tangan manusia. Kegiatan pengembangan pemanfaatan lahan yang dinilai mempengaruhi perilaku aliran tersebut.

a.     Karakteristik DAS Kabaena
Daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi bagian hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik. Masingmasing bagian tersebut saling berkaitan. Bagian hulu DAS merupakan kawasan perlindungan, khususnya perlindungan tata air, yang keberadaannya penting bagi bagian DAS lainnya. Perbandingan Faktor Biofisik dan Sosial Ekonomi DAS di tampilkan pada table 1.

Tabel 1.Perbandingan Faktor Biofisik dan Sosial Ekonomi Antara
 DAS di Bagian Hulu dan Hilir (Hikmat, 2004)

DAERAH HILIR
DAERAH HULU
Faktor Biofisik
 - Topografi Dasar
 - Bergelombang, berbukit, bergunung
 - Erosi yang terjadi kecil
 - Rawan terhadap terjadinya erosi
 - Penutupan Lahan Bukan Hutan
 - Didominasi oleh hutan
 - Tanah umumnya subur (akibat sedimentasi)
 - Tanah umumnya marjinal
 - Pengolahan Tanah Intensif dan telah beririgasi baik
 - Pengolahan tanah masih ekstensif & lahan kering
Faktor Sosial Ekonomi
 - Infrastruktur baik
 - Infrastruktur jelek
 - Aksebilitas tinggi
 - Aksebilitas rendah
 - Tingkat pendidikan tinggi
 - Tingkat pendidikan rendah
 - Berorientasi pasar
 - Berorientasi masih subsistem
 - Lahan banyak dimiliki pribadi
 - Lahan banyak milik pemerintah
 - Adanya pencampuran budaya
 - Jarang pencampuran budaya
 - Tenaga kerja upahan
 - Tenaga kerja dari keluarga
 - Tingkat kesejahteraan relatif tinggi
 - Tingkat kesejahteraan rendah
 - Teknologi sudah kompleks
 - Teknologi masih sederhana
 - Keterlibatan LSM* sedikit
 - Keterlibatan LSM* banyak

Bentuk DAS Kabaena dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu :
a.     Berbentuk bulu burung;
b.     Radial; dan
c.     Paralel.
Karakteristik masingmasing bentuk ditampilkan dalam Tabel 2 berikut :

Tabel 2.  Karakteristik Bentuk DAS (Hikmat, 2004) 


b.    Pola Aliran Sungai Kabaena
Pola aliran sungai di Kabaena apabila dilihat dari atas tampak menyerupai beberapa bentuk, seperti menyerupai percabangan pohon (dendritik) dan jarijari lingkaran (radial). Pola aliran ini dapat merupakan petunjuk awal tentang jenis dan struktur batuan yang ada (gambar 4).
-            Pola Dendritik :
Umumnya pada daerah ini terdiri dari batuan sejenis dan penyebaran yang luas, misalnya kawasan yang tertutup endapan sedimen yang terluas dan terletak pada bidang horizontal, seperti di dataran rendah bagian tengah pulau Kabaena pada areal DAS Pising, DAS Toromelati dan DAS Lengora.
-            Pola Radial :
Umumnya dijumpai di daerah lereng gunung Watusangia dan lereng Gunung Sampapolulu seperti daerah DAS Lakambula, DAS Lameroro, DAS Toroado, DAS Pongkalaero dan DAS Malupulu.
Gambar 4.  Pola Aliran Sungai

c.     Kebijakan Wilayah Sungai dan DAS
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota sesuai pasal 16 antara lain : menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dan membentuk dewan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya yang didasarkan pada hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis dengan memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber air dari berbagai jenis pemanfaatan yang melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan serta memperhatikan fungsi kawasan.

Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air yang dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai sehingga menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang. UU tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 mengatur pula tentang daerah aliran sungai (DAS) terdiri dari suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, meyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan, ke danau atau ke laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Dari definisi ini dapat diartikan seluruh wilayah dataran terbagi habis dalam DAS. Selanjutnya dalam satu DAS dapat terhimpun atas beberapa sub DAS. Sehingga dalam suatu DAS akan terbentuk sebuah ekosistem yang unik.
Sehubungan dengan pelestarian DAS, tentunya tidak terlepas dari pelestarian hutan sekitar, utamanya daerah hulu suatu DAS yang mana hutan inilah yang menyimpan mata air, dengan lamanya proses pembentukan mata air mulai dari bulanan, puluhan tahun hingga ratusan tahun. Jika keberadaan hutan didaerah hulu (catchmen area) telah rusak, misalnya karena konversi menjadi kebun kelapa sawit seperti yang terjadi di daerah Konawe Utara (Konut), otomatis daerah penyangga atau pelindung tidak lagi dapat berfungsi mengatur tata air sekaligus penyimpan air. Belum lagi jika daerah hulu tersebut berubah menjadi lahan kritis, akibat pengundulan hutan untuk kegiatan pertambangan seperti beberapa wilayah di Kabaena.
Seharusnya pemanfaatan hanya dilakukan pada kawasan non lindung, seperti pada lahan datar dan bukan lahan miring pada daerah lereng. Selain itu sebagaimana ketentuan dalam pasal 18 UU No. 41 Tahun 1999, minimal 30 persen dari kawasan DAS harus ada hutan, guna tetap mempertahankan normalnya proses hidrologi serta peraturan pada pasal 50 bahwa setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

2.    Sumber Daya Kelautan dan Wilayah Pesisir
Secara umum, sumberdaya kelautan terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal.
Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Kabaena saat ini, disamping sumberdaya alam darat seperti keberadaan mineral-mineral tambang yang menjadi primadona bagi perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional untuk dieksploitasi dalam jangka waktu yang lama. Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat Kabaena, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan Kabaena terkandung sumber pangan yang sangat besar yakni ikan di seluruh perairan Kabaena yang berbatasan dengan Teluk Bone dan Laut Banda serta budidaya rumput laut di sepanjang pantai Sikeli, Baliara, Tg. Toromelati, Tg.Pising, Tg, Lengora, Tapuhaka, Toli-Toli. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai Wulu, Talaga dan Sagori yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut di Kabaena semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Implementasi pembangunan berkelanjutan dalam bidang kelautan perlu dilakukan pemerintah kabupaten Bombana untuk menyambut berbagai kegiatan dan proyek pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang telah digalakkan oleh pemerintah pusat di berbagai provinsi diantaranya Proyek MREP (Marine Resources Evaluation and Planning Project), Proyek Pesisir (CRMP), Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (SACDP = Segara Anakan Conservation and Development Project), Proyek Coastal Zone Land Use and Management dan Proyek COREMAP (Coral Rehabilitation and Management Project), dan berbagai proyek kelautan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait.
Pulau Kabaena yang terdiri dari 6 kecamatan, 28 desa dengan 5 kelurahan, mempunyai ±16 pulau-pulau kecil (termasuk Pulau Talaga Wilayah Kabupaten Buton), diperkirakan 1/3 bagian wilayahnya terdiri dari lautan dengan panjang pantai sekitar 200 km.
Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Kabaena tersebut antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti mangrove (hutan bakau), terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam (yang masih dalam penelitian) termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Disamping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Kabaena memiliki harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam di perairan Sagori dan Tanjung Pising pada masa lalu, selain itu juga wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenyamanan sebagai tempat rekreasi dan wisata bahari misalnya pantai Wulu Kabaena, pantai Lanere di Kabaena Selatan, Pantai Lengora di Kabaena Tengah, kawasan segitiga Daerah Perlindungan Laut (DPL) dan Taman Laut Pulau Sagori-Pulau Bakau-Pulau Motaha. Pulau ini terletak di Kecamatan Kabaena Barat dan dapat dicapai dengan menggunakan speed boat sekitar 1/4 jam kearah selatan dan barat dari Pelabuhan Regional Sikeli, struktur pantai dengan pasir putih, ditumbuhi oleh sejumlah pohon pinus dan wisatawan bisa menikmati keindahan terbit dan tenggelamnya matahari serta pada umumnya pulau ini dihuni oleh masyarakat suku Bajo.

Pelabuhan Pantai Lanere Batuawu    Taman Laut Pulau Sagori    Pantai Wulu Kabaena
Gambar 5. Wisata Bahari Kabaena

Dengan karakteristik wilayah pesisir Kabaena yang kaya dengan sumber alam, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendekatan pembangunnan secara hati-hati. Pada sisi lain, luasnya sumberdaya lautan dan pesisir menimbulkan permasalahan, berupa ketidakpaduan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan/memicu konflik antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.

Gambar 6. Peta Potensi Ekonomi Kabupaten Bombana (BPS.2006)
Permasalahan lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan masyarakat pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan lemahnya penegakan hukum. Untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang pesisir dan lautan.

a. Prinsip Penataan Ruang Laut dan Wilayah Pesisir
1.     Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan.
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
2.     Kompensasi.
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3.     Otonomi Daerah dan Desentralisasi.
Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.
4.     Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif.
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
-    Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
-    Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil.
-   Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.
5.     Penentuan Sektor Unggulan.
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6.     Penentuan Struktur Tata Ruang.
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
7.     Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai.
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
8.     Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif.
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St   = Vt x t
St   = Jarak tempuh pencemar dari sumbernya
Vt   = Kecepatan sebar pencemar
t     = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9.     Musyawarah dan Hak Adat/Tradisional.
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.

Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat. Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.

Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
-   Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana.
-   Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro.
-   Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas).
-      Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hokum.
-    Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.

d.    Kebijakan Wilayah Laut dan Pesisir

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan besar dengan jumlah pulau 17.508, garis pantai sepanjang 81.290 km, dan luas lautan 5,8 juta km persegi. Namun, masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam hal kebaharian ini, mulai dari garis batas, pencurian ikan, sampai ke peraturan yang masih kurang ataupun kalau ada masih tumpang tindih. Soal penjagaan kawasan laut yang menjadi kedaulatan Indonesia, tugas TNI AL menjadi sangat berat karena jumlahnya terbatas, sementara wilayah perairan Indonesia sangat luas. Apalagi ada banyak institusi nasional lain yang belum peduli untuk membantu penegakan hukum di laut.
Di sisi lain, Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 82 masih memerlukan penjabaran lebih luas, namun hingga saat ini belum banyak undang-undang atau aturan-aturan hukum yang dibuat. Karena itu, perlu kepedulian antar-instansi, komponen masyarakat, dan komponen nonpemerintah untuk bekerja sama menjaga keutuhan NKRI dan pulau-pulau kecil.

Saat ini permasalahan yang terkait dengan penataan ruang di wilayah pesisir dan laut adalah potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih tidak hanya terjadi antarsektor (pemerintahan, masyarakat setempat, maupun swasta), namun juga antar penggunaan. Di pihak pemerintah sendiri ada konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir berupa konflik antar wilayah. Dampak yang muncul akibat kegiatan yang berada di daerah otonom lainnya atau yang berada di bagian hulu atau yang bersebelahan ternyata belum diantisipasi dengan baik. Hal ini juga akibat oleh lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya. Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak terkendali akibat belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Dampaknya adalah degradasi lingkungan, antara lain dalam bentuk penurunan luas hutan payau yang berdampak lanjutan pada peningkatan abrasi pantai, hilangnya filter bahan pencemar perairan pesisir, dan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan air.

Perencanaan tata ruang laut dan pesisir harus diletakkan dalam system perencanaan yang berlaku. Menurut pasal 9 ayat 1 UU 24/1992 diatur bahwa RTRWP dan RTRWK disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai dengan batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Batas wilayah perencanaan, termasuk batas laut, dalam RTRWP dan RTRWK disesuaikan dengan batas kewenangan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah: (a) Berdasarkan pasal 18 ayat 4 UU 32/2004, wilayah yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (b) Berdasarkan pasal 18 ayat 5 UU 22/1999, wilayah yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota juga mencakup wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Provinsi. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya ”span control” dan semakin jelasnya akuntabilitas dalam pengelolaanya. Dalam perencanaannya Kabaena diharapkan dapat masuk dalam kawasan lindung laut nasional seperti pulau lainnya sesuai table 1.

Tabel 1
DAFTAR KAWASAN LINDUNG LAUT NASIONAL

MENURUT DRAFT RTRWN

No
Nama Kawasan Lindung
Lokasi
Luas (Ha)
1
TWL Pulau Weh
NAD
3,900
2
TWL Kepulauan Banyak
NAD
227,500
3
TWL Pulau Pieh
Sumatera Barat
3,900
4
 TWL Gili Meno, Gili Ayer, Gili Trawangan
NTB
2,954
5
TWL Gili Moyo
NTB
6,000
6
TWL Teluk Kupang
NTT
50,000
7
TWL Teluk Maumere
NTT
59,450
8
TWL Tujuh Belas Pulau
NTT
9,900
9
TWL Kepulauan Kapoposang
Sulawesi Selatan
50,000
10
 TWL Telok Lasolo
Sulawesi Tenggara
8,800
11
TWL Laut Banda
Maluku
2,500
12
TWL Pulau Kassa
Maluku
1,100
13
TWL Pulau Marsegu dsk
Maluku
11,000
14
TWL Pombo
Maluku
1,000
15
TWL Kep. Padaido
Papua
183,000
16
TNL Kepulauan Seribu
DKI Jakarta
110,000
17
TNL Karimun Jawa
Jawa Tengah
111,625
18
TNL Komodo
NTT
75,000
19
TNL Bunaken
Sulawesi Utara
89,065
20
TNL Taka Bone Rate
Sulawesi Selatan
530,765
21
TNL Kepulauan Wakatobi
Sulawesi Tenggara
1,390,000
22
TNL Teluk Cendrawasih
Irian Jaya
1,453,500
23
TL Pulau Weh
NAD
3,900
24
TL Pulau Moyo
NTB
6,000
25
CAL Pulau Anak Krakatau
Lampung
11,200
26
CAL Bukit Barisan
Lampung
21,600
27
CAL Leuweung Sancang
Jawa Barat
1,150
28
CAL Karimata
Kalimantan Barat
77,000
29
CAL Pantai Selimpai
Kalimantan Barat
7,600
30
CAL Kepulauan Aru Tenggara
Tenggara Maluku
114,000
31
CAL Banda
Maluku
2,500
32
CAL Riung
NTT
2,000
33
SML Kep. Raja Ampat
Papua
60,000
34
SML Sabuda Tataruga
Papua
2,000

Keterangan:

TWL : Taman Wisata Laut                                                                   CAL : Cagar Alam Laut

TNL : Taman Nasional Laut                                                                 SML : Suaka Margasatwa Laut

TL : Taman Laut

Dalam proses perencanaan wilayah pesisir, satu hal yang menjadi menarik ketika melakukan kajian mengenai apa yang di maksud dengan Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area dalam UU no 31 Tahun 2004. Bahwa sesuai pasal 7 ayat 1 point q hanya menulis Suaka Perikanan (Suaka perikanan merupakan kawasan perairan tertentu baik air payau maupun air laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan) yang secara ekplisit tercantum juga pada bagian awalnya mengenai pengertian Konservasi Sumberdaya Perikanan dalam pasal 1 ayat 8 yang mengartikan demikian: “Konservasi Sumberdaya Ikan adalah: upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaan sumberdaya ikan.”

Selain itu, diketahui bahwa sungai-sungai bermuara di laut memiliki potensi sebagai transportasi bahan pencemar untuk masuk ke laut. Maka, salah satu upaya untuk menghindari masuknya bahan pencemar ke dalam laut melalui sungai adalah dengan meningkatkan kualitas air sungai terlebih dahulu. Untuk itu pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1990 mengenai Pengendalian Pencemaran Air dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengendalian pencemaran yang dilakukan adalah dengan menetapkan daya tampung beban pencemaran, melakukan inventarisasi sumber pencemar, dan memantau kualitas air. Untuk setiap kegiatan atau industri yang menghasilkan sisa usaha, ketika akan dibuang ke badan air, baik sungai maupun laut, wajib memenuhi kriteria baku mutu air limbah yang telah ditetapkan pemerintah. Baku mutu air limbah atau istilah beberapa waktu yang lalu adalah limbah cair yang telah ditetapkan pemerintah, antara lain, baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, kegiatan hotel, kegiatan rumah sakit, kegiatan minyak dan gas serta panas bumi, kawasan industri, dan kegiatan pertambangan mineral/batu bara.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, sesuai :
1.  Pasal 1, Point (21) : Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
2.  Pasal 31, Point (2) : Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan:
a.  Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
b.  perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;
c.  Perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya;
d.  Perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan mangrove.
3.  Pasal 35 : Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang a.l:
a.  Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.  Melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;
c. Menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
d.  Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
e.  Melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

4.   Pasal 73, Point (1) : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap orang yang dengan sengaja a.l :

-   Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.

 

Daftar Rujukan :

Dahuri, Rokhmin. 2009. Peluang Ekonomi Tinggi dari Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Laut. (Online) http://www.pantai.netfirms.com. Diakses 5 Februari 2011.
Kumaat , J Christian. 2007. Pentingnya Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (Online) http://jchkumaat.wordpress.com. Diakses 11 Januari 2011.

Undang-Undang Nomor  7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Kecil.

1 Response to "KABAENA - KONSERVASI SUMBER DAYA AIR"

  1. nice post,
    nikmatinya serunya konservasi sambil berwisata, info selengkapnya silahkan klik di sini

    BalasHapus